Yoongi tersenyum ketika turun dari dalam bus yang ditumpanginya, berhenti tepat di depan terminal, dan ada pemuda belasan tahun memberi cengiran. Jimin tergopoh mendekat setelah istrinya menapak pada aspal, segera direngkuh dan tak lupa diberi kecup pada kening.
Lantas mereka melangkah berbarengan sembari bergandengan tangan, menikmati sore setelah padat aktivitas yang dijalani, Jimin memegangi telapak Yoongi sebegitu erat. Yang diberi afeksi hanya tersenyum menanggapi, gelenyar dalam hati tak bisa dihindari.
Selalu begini jika Yoongi pulang bekerja, dijemput tak luput dari sambutan yang menggugah hati, Jimin seperti tahu harus bagaimana menghadapi lelah pada diri Yoongi. Sepuluh menit perjalanan dari terminal ke dalam flat mereka seperti satu detik terlewati, terasa singkat padahal ingin lama-lama saling kasmaran.
Jimin menuntun Yoongi ke sofa, disuruh duduk dengan kaki terlentang, Jimin duduk di sisi lainnya, memangku kaki Yoongi sembari membubuhkan pijatan. Awalnya si kulit pucat tentu menolak segala perlakuan pemuda itu, tapi yang namanya Jimin susah diberitahu, sungguh keras kepala hingga Yoongi hanya sanggup mengembus napas.
Merasa sungkan atas perlakuan yang lebih muda, apalagi di sini Yoongi yang punya status istri, tapi malah Jimin yang terus melayani sedari tadi. Menyiapkan teh dengan takaran gula yang pas, menyuguhkan kue yang dibeli pemuda itu sepulang dari kampus. Yoongi kurang apalagi?
Apa Yoongi harus bicara sekarang?
"Jimin," panggil si kulit pucat, orang yang dipanggil hanya mendengung saja, fokus memijat walau Yoongi kurang suka, demi apapun betisnya malah semakin sakit.
"Lihat sini dulu coba," titah Yoongi sembari meraih dagu Jimin agar menghadap ke arahnya.
Jimin hanya dapat terpaku saat Yoongi menempelkan bibir keduanya, memagut lembut dengan jari lentik menyentuh rahang. Jimin otomatis menghentikan acara pijatnya, memindahkan Yoongi pada pangkuan dan memeluk pinggangnya dengan dekap erat.
Yoongi melepas begitu saja ciuman mereka, sebelum Jimin berhasil melesakkan lidah pada mulutnya, Yoongi pandangi wajah itu dengan jari-jari memainkan rambut hitam Jimin. Si bibir tebal menikmati, setiap elusan dari Yoongi itu membuat hati berdesir halus, Yoongi selalu bisa membuat Jimin terbuai.
"Aku mau mandi, tolong lepaskan dulu pelukanmu," ucap Yoongi diiringi kekeh pun segera bangkit dan pergi dari pangkuan suaminya.
Jimin bergeming, ini Yoongi niat betul menggodanya atau memang sifat alami pemuda itu? Bekas pantat Yoongi masih hangat di pahanya, Jimin agak menyesal setelah membiarkan istrinya pergi, ia ingin lebih, ingin merasa terbang ke awang-awang.
Tak banyak mengeluh maka Jimin hanya melengos ke kamar, berbaring di atas ranjang sembari menatap langit-langit ruangan setelah menyiapkan satu setel pakaian. Piyama Yoongi sudah bertengger di sudut ranjang, bahan satin warna putih gading, baru dibayangkan saja Jimin ingin memekik, apalagi jika nanti Yoongi sudah mengenakannya.
Oh iya, sudah lama Jimin tak memainkan ponsel, terakhir dipakai dua hari lalu, hari ini mungkin bisa sedikit santai sembari main sosial media. Wallpapernya masih sama, menggunakan default dari ponsel tersebut, tapi ingin sedikit mengganti suasana, maka Jimin ganti dengan gambar Yoongi.
Sebuah gambar close up, hanya terdapat fitur wajahnya saja karena Jimin mengambil diam-diam selagi pria itu tertidur sehabis lelah kerja tiga hari lalu. Sedang asik lihat-lihat foto lewat aplikasi sembari sesekali menekan tombol hati sebagai bentuk apresiasi, tiba-tiba Yoongi datang dengan tubuh berbalut bathrobe.
Begitu kontras dengan warna kulit, tak lama pria itu memakai piyama yang disiapkan tanpa malu-malu, lagipun Jimin sudah tahu tubuh telanjangnya. Tapi sedikit risi juga kala Jimin memelototi sesekali bersiul jahil saat Yoongi berhasil mengenakan pakaian dalam, Yoongi tak gubris. Setelah selesai cepat menggantungkan bathrobe di belakang pintu yang terdapat paku khusus.
"Awas matanya lompat," sindir Yoongi setelah ikut rebah di samping suaminya, Jimin terkekeh sampai matanya hilang.
"Abisnya, kamu aduhai, sih." Yoongi hanya bisa menepuk lengan pemuda itu saat perkataannya membuat pipi merah.
"Tadi kayaknya kamu mau bicara sesuatu deh, bicara sekarang aja." Yoongi memandang suaminya sebentar sebelum menunduk sembari memainkan selimut yang dikenakan sampai pinggul.
"Tak jadi ah, nanti saja." Jelas Jimin semakin dibuat penasaran, ingat kalau pemuda Park itu keras kepala, dan satu-satunya cara agar Yoongi bicara ya harus dipaksa.
"Lho, kok gitu? Ayo bicara." Jimin menggoyangkan bahu istrinya, tapi si kulit pucat malah menggeleng dengan mantap.
"Nanti," jawab Yoongi singkat, walau agak pusing harus meladeni sikap Jimin yang seperti ini.
"Ayolah, atau—kugelitiki sampai mampus. Hayo, mau pilih yang mana?" Masih belum menyerah, tapi perlu diingat kalau Yoongi juga pribadi yang kukuh pada pendirian.
"Tak pilih dua-duanya, sudah ah." Tangan sigap mendorong jari Jimin yang mulai mencolek area bawah ketiak.
Tapi ancaman Jimin itu tak pernah main-main, Yoongi baru tahu perihal itu hari ini, sebab Jimin benar menggelitiki seluruh tubuh. Kalau seperti ini kejadiannya, Yoongi benar-benar dibuat mampus. Jimin tak mau dibuat berhenti walau Yoongi sudah tertawa tersendat dengan napas yang payah, perutnya mulai sakit karena asik terbahak, rahang pegal karena terus terbuka pun jangan lupakan air mata ikut turun.
"Iya, hahaha aku bicara, oke berhenti!" Lengking suara Yoongi membuat Jimin seketika menghentikan aksi, Yoongi meraih udara sebanyak-banyaknya sebelum mengembuskan napas dengan helaan berat.
"Aku ragu." Patah kata yang terdengar parau, tapi Jimin tak berani menyela, menunggu yang lebih tua cerita lebih lanjut.
"Aku juga kurang paham," lanjut si kulit pucat, menelusupkan wajah pada leher Jimin dan bernapas hangat di sana, menghantarkan karbondioksida yang buat pikiran gila.
"But ... I love you, Jimin." Sebuah bisikan cinta, terdengar begitu pelan, mengalun indah dibarengi detak jantung yang mulai bertabuh dahsyat.
"Sembilan puluh hari bersamamu, di awal aku merasa biasa, tapi tidak pada akhir-akhir ini, jantungku taste so crazy. Ini benar cinta 'kan? Aku takut salah menafsirkan. Jimin, tolong beritahu nama dari perasaan ini."
Jimin mendengar baik-baik setiap kata yang terucap pelan, meresapi dengan segenap degupan. Hangat tiba-tiba menjalar memenuhi rongga hati, bahkan—mungkin memenuhi setiap sudut. Yoongi sudah menelaah hati, mengucap mantera yang selama ini Jimin tunggu, walau masih kentara bingung atas perasaannya sendiri.
Jimin mengusap punggung istrinya dengan gerakan halus, Yoongi semakin mengusal pada pelukan dengan wajah yang disembunyikan pada ceruk leher. Saling menyelami suasana yang terasa menenangkan, menikmati rasa yang mungkin sebentar lagi membuncah dengan banyak letupan.
"I think ... my feel the same with you, Yoongi." Maka pelukan pada leher Jimin semakin mengerat setelah pemuda itu selesai mengucapkan kata singkat dan jelas, menjelaskan perihal rasa Yoongi itu benar adanya sebuah cinta. Memiliki rasa yang sama.
"Boleh?"
Satu anggukan dari yang lebih tua membuat Jimin memperlihatkan ulas senyum paling tampan, pun segera menidurkan Yoongi dengan dia berada di atasnya.
Memandangi dengan sorot lain, sorot yang belum pernah diperlihatkan sebelumnya.
Tbc
Oke, kita skip😏
KAMU SEDANG MEMBACA
Amour
FanfictionKetika Daegu jadi titik temu takdir. Bertemu dengan sosok asing dan ... Menikah begitu saja. (Taekook; Tae-top, Kook-bottom) (Minyoon; Jim-top, Yoon-bottom) Don't like, don't read!