Yoongi terbangun tengah malam, tiba-tiba terlonjak begitu saja saat pinggang terasa nyeri dan perut bawah keram juga tak nyaman. Biasanya hanya sebentar terjadi, dan ini sudah berjam-jam tapi masih sering dialami walau sudah diusap berkali-kali menggunakan minyak zaitun hangat, seharusnya masih seminggu lagi, tapi malam ini sudah terasa kontraksi yang luar biasa sakit.
Bayi dalam perut berontak hebat, menendang ke segala arah dengan gerakan cepat, memberitahu orang luar kalau dirinya sudah ingin melihat dunia secara nyata bukan dari mimpi ibunya saja. Jimin terjaga begitu saja saat pundaknya beberapa kali ditepuk keras, masih dalam keadaan menyadarkan diri dari belenggu bunga tidur sampai akhirnya benar-benar menajamkan mata saat mendengar desisan tak biasa.
Yoongi mengaduh kecil sembari memegangi perut bagian bawah, tangan lain meremat piyama yang dikenakan Jimin sampai si empunya terduduk saat sadar sebuah tanda darurat terpancar. Peluh memenuhi pelipis dengan dahi terlipat menggunduk, bulir air tiba-tiba turun dari pelupuk, membuat Jimin cepat siaga saat tahu kalau malam ini akan berlalu panjang.
"Masih bisa berdiri?" Tanya Jimin, membantu istrinya untuk beranjak dari ranjang, tapi Yoongi menggeleng kuat dibarengi erang sakit.
Tanpa pikir panjang Jimin menggendong Yoongi, agak sedikit sulit saat beban yang diangkat ternyata berat. Bibir Yoongi tampak bergetar dan pucat, meringis dengan sesekali mengaduh saat bisa mengeluarkan suara. Jimin mempercepat langkah ketika Yoongi semakin payah dalam mengatur rasa sakitnya, meracau dengan suara parau, hingga Jimin dibuat ingin menangis.
Menuju kendaraan roda dua, Jimin menempelkan helm terlebih dahulu sebelum nyalakan kontak motor dan membelah jalanan di tengah malam begini, dengan Yoongi yang memeluk lingkar pinggang seerat mungkin. Sesekali Jimin mengusap punggung tangan si istri guna membuat suasana tak terlalu tegang, atau bersenandung kecil agar Yoongi semakin tenang.
"Tahu gak, kenapa malam ini bintang gak ada di langit?" Tanya Jimin, coba memenangkan manusia di boncengan belakang.
Yoongi terdiam, memandang langit sebentar untuk memastikan, bibir tersenyum tipis dibarengi geleng kecil, saat tak mendapat jawaban.
"Karena bintangnya sekarang lagi peluk aku," kata Jimin, memberi gombal payah, membuat Yoongi terkekeh dibuatnya, hingga dibuat lupa kalau perutnya yang meronta nyeri.
Tiba di sebuah rumah sakit, tempat biasa Yoongi berkonsultasi tentang kandungannya, Jimin menghentikan kendaraan di pelataran parkir tak jauh dari lobi utama, Yoongi masih memeluk perut hingga Jimin tak tega membangunkan, karena pria itu tiba-tiba mendengkur halus.
Ternyata tidak sepenuhnya tertidur, Yoongi hanya memejamkan mata guna meredam rasa sakit, sedikit ampuh apalagi saat Jimin menggenggam tangannya diselingi percakapan acak.
Menggendong lagi Yoongi ke dalam koridor, para perawat yang sadar akan sebuah kedatangan dua lelaki itu lantas dengan cepat membawakan berangkar, roda bergulir cepat pada ubin rumah sakit, melesat kilat memasukki ruang operasi.
Jimin diizinkan ikut serta sebagai pendamping, Yoongi sudah terenggut kesadaran saat salah satu Dokter memberi suntikan berisi anastesi. Jimin ada di samping istrinya, menggenggam erat dengan kepalan yakin kalau Yoongi bisa menjalani ini semua dengan lancar. Bayi dan ibunya harus selamat, karena Jimin begitu menantikan buah hatinya dengan si pujaan, menunggu dengan sabar setiap bulan yang terlewati. “Yoongi, kamu bisa, aku di sini, menemanimu.”
Lampu terang menyorot pada bagian perut Yoongi, terdengar Dokter memerintah para pendamping operasi untuk mengambilkan alat-alat guna membedah satu kulit hingga timbul sobekan sepanjang dua belas sentimeter. Begitu serius hingga membuat jantung bertalu-talu tak karuan, alat pendeteksi jantung merisaukan suasana walau nyatanya segala sesuatu masih terlihat lancar jaya.
Dokter masih sibuk berperang dengan berbagai pisau beragam ukuran, setelah digunakan maka akan cepat disterilkan menggunakan alkohol agar tak terjadi infeksi. Satu perawat menyeka dahi sang Dokter saat pria itu tampak berkeringat banyak, memperjuangkan satu kehidupan yang selama ini begitu didamba.
"Aku tahu kamu kuat," bisik Jimin, tangan Yoongi sepenuhnya sudah terkulai saat ini, dan jantungnya berdentum kencang saat satu gumpalan besar dikeluarkan dari dalam perut istrinya.
Diangkat tinggi-tinggi sebelum dipecahkan balon yang mengurung makhluk mungil di dalamnya, tepat setelah pecah beserta cairan yang ikut luruh maka tangis kencang bisa terdengar memekakan rungu. Dokter tersebut terkekeh, masih mengangkat bayi bersimbah darah itu dengan jemawa, seakan dirinya telah menemukan keajaiban dunia.
Perawat wanita yang membawa handuk lekas menerima baik sosok mungil tersebut, tampak sangat merah apalagi dengan tangisannya yang memecah keheningan serta keseriusan yang terjadi. Jimin bergeming, masih tak menyangka pada apa yang dilihat dan didengar, ratap haru terpancar dari pemuda Park sampai akhirnya menangis meraung-raung.
"Yoon? Kamu dengar? Itu bayi kita, nangisnya kencang banget," ujar Jimin, di sela-sela isak yang terdengar parau, merasa hatinya tersentil hingga sentimentil.
Bayi itu terbungkus hangat oleh kain lembut, disodorkan begitu saja pada Jimin yang masih sibuk tersengguk sembari meracau pada sosok yang belum sadarkan diri. Dokter tampak fokus kembali untuk menjahit bekas operasi, dengan gunting, jarum dan benang khusus. Jimin menerima dengan gemetaran satu makhluk rentan, tampak damai dengan mata terkatup.
"Park Min Dee," cuit Jimin saat menatap lamat-lamat apa yang ada dalam gendongan, terlihat rapuh dan sensitif dengan pipi merah.
Lihat bibirnya, mirip Jimin yang begitu tebal dan berisi, hidung imut bagai pucuk bunga baru mekar, mata yang tertutup rapat terlihat sipit dan minimalis. Perpaduan Yoongi dan Jimin, merasuk pada paras makhluk yang baru saja melihat semesta setelah lama berkelana dalam tidur panjang dalam perut.
Anugerah yang tak akan terlupa, perasaan bahagia yang meletup sendirinya, haru tersisip apik di sudut hati. Jimin mencium kening sosok mungil dalam rengkuhan, membubuhkan satu ketulusan hati dengan cuma-cuma, menyambut kedatangan sosok yang selama ini dinanti-nanti.
Bayi diminta kembali untuk ditaruh pada ranjang kecil, Yoongi sesegera mungkin dipindahkan pada ruang rawat inap pasca operasi, masih terlelap dalam buai anastesi. Jimin senantiasa menjaga, dengan banyak rasa syukur yang terpanjat begitu saja saat semua kebahagiaan didapat.
Gemuruh dahsyat yang meletup dalam hati tak hilang walau waktu telah bergulir maju, walau kini ruang rawat Yoongi penuh tamu. Orang tua masing-masing menyambut dengan gembira atas lahirnya cucu pertama, melintasi malam menggunakan kereta dari tempat yang tak dekat.
"Jimin, kok Jungkook gak ada?" Celetuk Mama Park, merasa bingung saat satu entitas tak ditemukan sedari tadi.
Jimin terkekeh, ini masih terlalu pagi, kemungkinan besar dua pria bermarga Kim itu belum membaca pesannya. Mungkin akan terbaca dua atau tiga jam lagi, saat Jungkook terbangun untuk menyiapkan keberangkatan sang suami.
"Nanti pagi, saat fajar sudah memperlihatkan diri, pasti dua Kim masih asik tenggelam dalam mimpi." Bukan Jimin yang menyahut, melainkan Ayah mertua yang tengah menimang cucu cantiknya, walau sang bayi masih sibuk terpejam.
Dilanda penuh rasa yang menggelitik, di tengah atmosfer baik menimpa bumi, Jimin menerima teguh atas karunia yang diberi begitu elok dan terpatri. Ratap syukur tak henti terucap dengan gamblang saat sang buah hati tampak manis di balik kain lembut berwarna merah muda, terpoles ringkih dengan bulu mata lentik.
Tuhan ... Semoga rasa bahagia Jimin bisa diterima semesta dan seisinya, termasuk sosok yang ia cintai.
Tbc
Horeee baby Park udah lahir, saatnya bikin baby Kim 🌚
KAMU SEDANG MEMBACA
Amour
FanfictionKetika Daegu jadi titik temu takdir. Bertemu dengan sosok asing dan ... Menikah begitu saja. (Taekook; Tae-top, Kook-bottom) (Minyoon; Jim-top, Yoon-bottom) Don't like, don't read!