Sepasang tungkai beralas heels boot hitam berjalan menapaki lorong rumah sakit yang nampak sepi. Sorot tajamnya hanya mengarah ke depan, dengan dagu yang sedikit terangkat. Wajahnya pun datar, tanpa ekspresi. Mulai memasuki sebuah ruangan berukuran luas yang ternyata tidak ada satupun penghuninya disana. Lantas membuat Jely mengernyit bingung.
"Dimana dia?" Gumamnya. Berjalan keluar guna mempertanyakan kepada salah satu bodyguard nya mengenai keberadaan Jay sekarang.
"Dia sedang berada di taman bersama salah satu perawat yang membawanya, Nyonya"
Tidak ingin membuang waktu, Jely pun segera berjalan cepat kearah taman yang tidak jauh dari ruangan ini berada. Lalu, beberapa saat kemudian langkahnya perlahan terhenti. Nampak di depan sana, seorang perawat yang sedang mendorong balik sebuah kursi roda yang Jay duduki. Sampai pada tatapan mereka pun saling bertemu. Namun, di detik berikutnya Jay justru malah mengalihkan pandangannya, dan menatap lurus kedepan. Melewati Jely yang terdiam bungkam sekaligus heran.
Apa Jay baru saja mengabaikan kehadirannya? Tapi, atas dasar apa?
Pun, Jely tidak ingin ambil pusing. Dan berjalan menyusul mereka.
"Terima kasih banyak" tutur Jay kepada perawat tersebut, saat mereka sudah berada di dalam ruangan yang pemuda itu tempati.
"Baik. Kalau begitu saya permisi"
Suster itu segera berjalan keluar, setelah sempat melempar senyum kepada Jely yang sudah berdiri di samping pintu. Kemudian, atensinya berfokus kepada Jay yang kini sudah menjalankan kursi rodanya kearah jendela kaca dengan matahari sore yang terpancar cerah kearah pemuda tersebut. Tepat membelakangi wanita dengan mini dress abu-abu serta jaket kulit crop yang dia kenakan sekarang.
"Aku pikir kau tidak akan pernah datang kesini lagi" ujar Jay, mulai angkat bicara. Tanpa sekalipun berbalik menoleh kearah Jely.
"Tadinya," sahut Jely acuh. Selama tiga hari belakangan ini, tepat setelah Jay mulai siuman, setelah itu Jely memutuskan untuk tidak menampakkan dirinya lagi. Namun hari ini, dia berada disini sekarang. Setelah berusaha berdamai dengan dirinya sendiri. Tapi setidaknya dia ingin tahu mengenai keadaan pemuda itu. Walau di rasa sebenarnya tidak perlu.
Mendengar ucapan dari wanita itu, lantas membuat Jay berdecih kesal. Menoleh sedikit, dengan sorot yang mengintip di balik bahu.
"Bukankah sekarang kita impas? Aku sudah menerima hukuman atas apa yang ku perbuat terhadapmu sebelumnya. Bahkan sampai ingin merengut nyawaku sendiri. Jadi, tidakkah kau berniat untuk memaafkanku, Park Jely?"
Alih-alih menjawab, Jely malah mengalihkan pandangnya sembari berdengus.
"Aku sudah memaafkanmu. Tapi untuk melupakan, sepertinya akan sulit" jawab Jely pada akhirnya.
"Sampai kapan?"
Jely mendecih, "Kau bertanya seperti itu seakan apa yang telah kau perbuat adalah suatu hal yang sepele"
Jay memejamkan matanya sebentar, membalikkan kursi rodanya, dan menatap wanita itu dengan tatapan begitu tajam.
"Lantas, aku harus bagaimana?" Perlahan-lahan kursi roda tersebut mulai bergerak kearah Jely.
"Cara satu-satunya ialah," Jay menggantungkan ucapannya tepat saat dia sudah berada di depan Jely dengan jarak yang cukup dekat. Mencengkram kuat lengan kursi tersebut, sampai pada tubuh Jay yang kini sudah berdiri tegap. Sontak membuat Jely sedikit tersentak, karena Jay yang langsung mengais jarak mereka menjadi begitu dekat. Bahkan kedua pasang hidung pun nyaris bersentuhan.
"Menjadi milikku."
Jely seakan sulit untuk bernapas. Beradu tatap dengan jarak sedekat ini tentu membuat otaknya refleks tidak bekerja. Kepalanya mendadak pening, serta tubuhnya pun jadi panas dingin.
KAMU SEDANG MEMBACA
ASIAN BABY GIRL | JAY ENHYPEN
Romance"Jika saja kau tidak membatalkan rencana pernikahan kita, aku pasti tidak akan repot-repot harus berbuat hal brengsek seperti ini." -Ongoing ©-MIMAAA-