*42*

1K 96 7
                                    

Maaf baru bisa update skarang🙏🏻
Mohon vote dan comment nya ya, biar aku bsa tmbah semangat lagi bikin ceritanya, oke?☺️


Happy reading!








Tergesa-gesa, Jay memasukkan laptopnya kedalam tas jinjing. Merapikan beberapa berkas, sembari beranjak. Mengantongi handphone nya pada saku jas, dan bergegas ingin pergi, karena sudah waktunya untuk pulang. Namun, langkahnya langsung terhenti saat di rasa ada orang yang sedang memanggilnya.

"Ada apa?"

"Sajang-nim menyuruhmu untuk keruangannya segera."

Decakkan kesal reflek tersuara. Pun, Jay meletakkan tas jinjingnya keatas meja, dan berjalan cepat menuju ruangan yang di tuju.

Jay menghela napas sejenak, menatap pintu bertulisan 'CEO' itu dengan tatapan yang sulit di artikan. Kemudian, mengetuknya sebentar, dan mulai menekan kenop pintu tersebut.

"Hai, Jay."

Jay langsung di sambut sebuah sapaan ramah oleh sang atasan, dimana nampak sedang tersandar santai dengan kedua tangan yang menumpu pada lengan kursi kebesarannya.

"Ada keperluan apa anda memanggil saya, Sajang-nim?" Tanya Jay terkesan sopan. Rautnya datar, menahan kesal.

"Duduklah, Jay." Sahut Tuan Jeon. Sudut bibirnya terangkat, dengan bola mata yang terus mengamati pergerakan sang keponakan.

Dengan terpaksa, diiringi helaan napas pelan, Jay pun mulai melangkahkan kakinya. Mendudukkan diri tepat di hadapan Tuan Jeon.

"Bagaimana hubunganmu dengan Jely?"

Kedua kening reflek menyatu. Jay menatap pria dewasa itu penuh tanya.

"Untuk apa anda mempertanyakan itu?"

"Hanya bertanya saja. Apa tidak boleh?"

Jay lantas mendengus. Mengalihkan pandangannya dengan sorot yang kini menajam sinis.

"Jadi, apa hanya itu alasan anda memanggil saya?"

Tuan Jeon balas menggeleng pelan. Menegakkan tubuhnya, seraya kedua tangan yang saling bertautan di atas meja. Menatap sosok keponakan penuh makna, diiringin dengan seringaian khasnya.

"Aku hanya ingin memberitahu bahwa,"




===




Setelah Jaguar hitamnya telah terparkir sempurna, Jay lekas menaiki anak tangga dari basement menuju lobby.

"Selamat sore, Tuan. Anda yan-"

"Apa noona ada di ruangannya?" Potong Jay langsung.

"Noona?" Sang Resepsionis itu mengernyit bingung.

Astaga, Jay sampai lupa.

"I-itu, maksud saya Nyonya Park. Apa beliau masih di ruangannya?"

"Masih. Beliau masih ada di ruangannya, dan belum pulang."

"Oke, terima kasih."

"Eh, eh, anda mau kemana? Anda ingin bertemu beliau? Anda siapa dan ada keperluan apa? Beliau tidak bisa di temui oleh sembarang orang." Cegat Resepsionis tersebut.

Lantas, Jay pun menghela napas sejenak.

"Saya kekasihnya."

Setelah itu, Jay langsung bergegas berjalan menuju lift. Meninggalkan sang Resepsionis yang sudah melongo sembari menatap kepergiannya.

Ting!

Ketika lift menuju lantai ruangan sang CEO berada sudah terbuka, Jay pun lekas berjalan cepat keluar. Membungkuk-bungkuk sopan, saat harus melewati salah satu Sekretaris yang kebetulan berjalan melewatinya.

Jay terengah-engah. Berdiri di depan pintu yang sudah di tuju. Mencoba merapikan sedikit kondisi rambut dan pakaiannya sebentar, sebelum bertemu sang pujaan hati.

Tok tok tok~

Ceklek!

Seiring saat pintu yang perlahan di buka, Jay reflek merentangkan kedua tangannya. Menyambut sesosok wanita yang kini sudah berada dalam dekapannya. Jay tersenyum. Mengecup pucuk kepala Jely dengan penuh penekanan. Penuh kasih sayang.

"I miss you." Bisik Jely, semakin mempererat pelukannya. Membuat senyum Jay semakin mengembang. Padahal baru tadi malam mereka bertemu. Tapi berasa seakan berminggu-minggu. Itulah alasan kenapa Jay begitu tergesa-gesa sekali datang kesini. Dia juga sangat merindukan pujaan hatinya, dan-

Ada satu hal lagi.

"Kau bukan orang yang pantas bisa bersanding dengannya, Jay. Kau seharusnya sadar bahwa dia merupakan seorang pemimpin besar, sekarang. Ya, kau memang terlahir dari keluarga yang kaya raya. Tapi untuk masalah karir, kau masih belum apa-apa di bandingkan dirinya. Kau hanya mahasiswa magang."

"Kalau sewaktu-waktu dia ada kendala dalam pekerjaannya, memangnya kau bisa apa? Apa kau bisa membantunya? Yang ada kau hanya akan menjadi beban dalam hidupnya, beban yang hanya bisa membuatnya menangis. Merasa tersakiti karena ulahmu."

"Wanita seperti dia lebih pantas bersanding bersama orang dengan kedudukan yang sama dengannya."

"Apa secara tidak langsung, anda mengatakan bahwa 'orang itu' adalah anda sendiri?"

Tuan Jeon mengedikkan bahunya, sembari menyeringai, "Maybe. Ya sekalipun tidak, yang penting itu bukan dirimu."

Spontan, Jay semakin mempererat pelukannya. Perasaan tidak rela, tidak terima, langsung menguasai dirinya. Seakan tidak ingin membiarkan wanita itu lepas dari jangkauannya sedikitpun.

"Ng, Jay sesak. Lepasin."

Dengan berat hati, pelukan itu pun akhirnya terlepas. Saling menatap satu sama lain, hingga Jay kembali membuka suara.

"I love you." Gumamnya pelan. Walau sedikit tersentak, kedua sudut bibir Jely pun perlahan mulai terangkat. Mengusap lembut pipi pemuda itu, lalu mengecup bibirnya sekilas.

"I love you too."

Senyum Jay ikut mengembang. Lantas, di gendongnya tiba-tiba tubuh Jely menuju meja kerja, dan mendudukkannya di sana. Kedua tangan tertopang pada sisi tubuh Jely, dengan jarang wajah yang cukup dekat. Ingin rasanya mengecup sekaligus melumat habis benda kenyal nan tebal itu, jikalau saja dia tidak mencoba untuk menahan diri, dan lebih menikmati paras rupawan yang terpahat begitu sempurna.

"Noona, mau makan malam bersamaku malam ini?"

"Tentu, kenapa tidak?" Sahut Jely seraya terkekeh ringan. "Mau makan dimana?"

"Aku sudah menyiapkan semuanya, dan berharap semoga noona suka."

"Baiklah. Memangnya apa saja yang sudah kekasihku ini siapkan?"

Kedua tangan Jely sudah menangkup pada sisi wajah Jay. Senyum yang terus merekah, dengan Jay yang perlahan mendekatkan wajahnya.

"Lihat saja nanti." Bisik Jay, sebelum melumat lembut bibir yang sedari tadi dia berusaha tahan. Terus melumat hingga pada tahap saling bertukar saliva. Saling ingin mendominasi. Dan pada detik berikutnya, ciuman pun terlepas. Terengah-engah. Posisi wajah mereka masih terbilang dekat, sampai bisa saling merasakan hembusan masing-masing napas.

"Kau milikku." Bisik Jay. "Noona milikku."

"Noona,"

"Eum?"

"Sebelum dinner, bolehkah kita 'bermain' satu sesi sebentar?"



























***

ASIAN BABY GIRL | JAY ENHYPENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang