Setelah usai makan Malam, kini di Meja makan itu nampak hening. Sosok Ibu dan Ayah itu menatap anak semata wayangnya dengan diam, yang di tatap hanya bisa menunduk ketakutan.
Sosok paling sabar itu pun menghela nafasnya---Ibu. "Kamu kenapa bisa panggil BK sih, nak? Harus panggil orang tua lagi. Gak biasanya kamu dapet masalah di Sekolah."
Awan mendongak, menatap Ibu dan Ayahnya secara bergantian.
Ia menghela nafasnya lelah.
"I-ini semua bukan salah Awan, Bu, Yah," Ujar Awan. Lalu ia menarik nafasnya, mencoba untuk mengambil keputusan yang amat berat baginya.
"Mereka ngebully aku, karena aku gay."
Hening seketika, merasa jika penuturan Awan hanya kebohongan dalam mimpi. Namun di keadaan serius ini, tentu bukanlah mimpi.
"Kamu serius, nak? Itu kamu lagi bohong 'kan?"
Awan menggeleng pelan, "Enggak Bu, aku memang gay. Tapi aku gak ngelakuin apa-apa. Aku disini korban, cuma karena aku suka sama seseorang, sampai orang yang aku sukai benci dan nyebarin berita itu." Ujar Awan dengan dada yang begitu sesak.
Lalu Awan mendongak, menatap kedua orang tuanya dengan berlinang air mata. "Emang jadi gay itu sehina itu, Bu, Yah? Aku sudah berusaha buat perasaan ini gak di ketahui siapapun, tapi namanya hati semakin di tahan semakin sakit. Tapi aku paham, semua yang aku lakuin itu salah."
Tidak bisa lagi Awan membendung air matanya itu, rasanya begitu sakit hingga ia tidak tahu lagi untuk mengutarakan isi hatinya kepada siapa. Entah jujur kepada orang tua suatu kesalahan atau bukan.
Namun tidak menurut Awan.
"Kamu tetep anak kita. Aapun yang terjadi, kamu harus jujur kepada kita." Ujar sang Ayah, lalu Ibunya bangkit dan memberi pelukan hangat kepada anaknya.
"Menurut Ibu kamu Sekolah di sana memang cepet banget ya, tapi gak ada pikiran buat pindah Sekolah?"
Awan mendongak, menatap malaikat hatinya yang kini tersenyum lembut kepadanya.
"Makasih banyak Bu, aku mau pindah."
*****
"Saya gak menyangka kalo anak Ibu mau pindah Sekolah lagi. Kenapa, Nak Awan? Kamu gak betah ada di Sekolah ini?" Tanya Ibu Kepada Sekolah yang duduk di kursinya.
Awan tersenyum kikuk, lalu ia menggeleng pelan.
"Jadi kalo kamu pindah, semua tuduhan dari teman-teman kelasmu itu benar?"
Awan melirik Ibunya, merasa enggan untuk berbicara. Hingga sosok peka itu membalas senyumannya itu.
"Bukan masalah benar atau tidak benarnya, Bu. Cuma... kalo kasus bullying itu 'kan gak bisa di biarin. Masa saya harus diem kalo tau anak saya di bully. Betul 'kan?" Ujar Ibu Awan.
Ibu Kepada Sekolah itu tersenyum. "Iya betul, Bu. Tetapi yang namanya penyimpangan seksual itu bukankah hal yang tidak dibenarkan?"
"Oh ya, tentu itu salah. Semua yang bersangkutan tentang penyimpangan seksual itu selalu salah di mata siapapun. Tapi coba Ibu ada di posisi saya. Tahu kalo anaknya di bully satu kelas, bahkan guru pun ikut jijik karena hal itu. Lantas, saya harus diam? Tentu tidak." Tegasnya.
"Saya sedikit meluruskan pemikiran Ibu yang terhormat, menilai seseorang bukan karena dia LGBT atau bukan. Lihat dari apa yang dia lakukan, lihat dari prestasinya, dan lihat dari etika dan sopan santunnya. Di jamin, yang menurut ibu itu MENYIMPANG akan tergeser karena semua perlakuan baik yang dia buat."
Merasa tidak ada yang perlu di lanjutkan, Ibu Awan berdiri dan menggosok pelan kepala sang anak agar untuk berdiri. "Saya pamit, semoga kasus bullying tidak semakin berkembang di Sekolah ini. Terimakasih."
Awan sangat terharu, hingga mereka keluar dari ruangan itu ia menghambur ke pelukan sang Ibu.
"Kenapa Ibu berani ngomong gitu sih?"
"Lha? Ibu bela anak, ya harus berani dong."
Mereka sama tertawa, lalu mereka kembali lanjut berjalan. Apapun yang bersangkutan tentang Ibu itu pasti yang terbaik dan Awan sangat menyayangi Ibunya itu.
Hingga mata milik Awan melihat sosok yang pernah ia cintai.
Leo yang sedang bersama teman-temannya, seperti ingin memastikan jika Awan benar-benar pindah dari Sekolah ini.
Mata mereka saling bertemu, hingga Awan yang mengalihkan pandangannya lebih dulu dan berjalan sembari di rangkul Ibunya.
Jujur, perasaan yang pernah ia agungkan kini sirna entah kemana. Merasa jika sosok yang pernah ia cintai sama saja seperti sampah yang berserakan. Itu yang ada di pikiran Awan.
Karena disini, Awan telah salah dalam mencintai seseorang.
TBC...
KAMU SEDANG MEMBACA
VICTIM (21+) [END]
Teen FictionSaat cinta yang kau taruh pada orang yang salah, maka kau menjadi korbannya. (21+ area, please kebijakannya)