13

3.7K 214 18
                                    

Rasanya, di hari Minggu seperti ini enak untuk bermalas-malasan setelah kegiatan Sekolah yang menguras otak dan tenaga. Hingga akhirnya Awan berkurung diri di kamar sembari berselancar di sosial media.

Ia membuka YouTube, menonton podcast yang kini sering muncul di Berandanya. Apalagi melihat seseorang yang tengah menanggapi isu LGBT. Ya, hal itu di notice cepat oleh Awan.

Waktu demi waktu berlalu, menyaksikan (sok) kehebatan orang yang sedang mengutarakan isi pikirannya itu.

'Gue gak masalah sama LGBT selama dia gak ganggu hidup gue. Sebenarnya gue agak jijik ngeliat pasangan gitu, kok ada ya orang jaman sekarang kek gitu? Akhir zaman banget tau gak.'

Melihat itu Awan berdecih, sudah menduga jika jawaban sempit itu yang paling utama di jawab.

Hell, apa pasangan normal juga tidak melakukan dosa? Terdengar sangat munafik.

Tok... Tok...

"Den, ada temennya di luar."

Awan menoleh setelah mendengar ketukan itu. "Iya, Bi."

Menyudahi tontonan membosankan itu, Awan bangkit dan turun dari tempatnya. Berpikir pasti sosok Irvan yang main kesini.

Namun dugaannya salah.

"Kenapa kesini, Leo?"

Senyuman yang terbit itu meluntur, sembari membawa beberapa sogokan untuk teman lamanya itu. Ah, apakah Awan masih menganggapnya teman?

"Hah... Gue gak akan bosen bilang kalo gue mau baikan sama elo, Wan."

Awan menyibakkan rambutnya yang berjatuhan, lalu menatap datar orang tersebut. "Okey, silahkan masuk."

"Oh, btw ini buat elo."

Alis Awan terangkat, banyak juga makanan ringan, coklat, dan sebuah kotak---yang sepertinya berisi sepatu.

"Thanks." Mau tak mau Awan menerima itu, Awan hanya mengambil enaknya saja. Selebihnya ia mau dingin lagi di depan Leo.

Tidak masalah, kan?

"Sepi ya, lagi pada kerja?" Tanya Leo basa-basi.

"Iya." Ujarnya, lalu Awan ikut duduk di samping Leo.

"Emm... Btw... Denger-denger elo udah ada gebetan? Siapa?"

Awan menoleh, menatap heran Leo. "Kok kepo?"

"Ya... Siapa tau orangnya lebih ganteng dari gue."

"Cih." Awan memutar matanya malas. Tak lama ia pun melirik Leo lagi, menelisik penampilan Leo sekarang.

Jujur, sekarang Leo lebih fresh dan lebih terlihat rapi ketimbang awal bertemu.

"Liat-liat, masih suka ya?"

Awan melotot, ia menoleh ke sebelahnya dan mendapati sebuah remote TV. Langsung saja ia melempar remote itu tempat di kepala Leo.

"Aw, shit! Apa-apaan si, Wan? Sakit ini!" Eluh Leo kesal.

"Hah? Ini yang katanya mau baikan sama gue? Ini yang katanya 'pukul gue kalo gue jahat', gitu? Lemah."

Leo masih asyik mengusap kepalanya. "Lha? Bukannya elo yang bilang gak mau jadi orang jahat kayak gue? Itu mulut gimana sih?"

"Kenapa hah? Terserah gue! Gak suka? Sana pergi! Gak guna elo ada disini!"

Leo menggerutu. "Ish, ini Cowok makin semena-mena sekarang. Mana judes lagi."

"Kenapa? Gak suka? Gue gak peduli, sana lo pergi!"

"Ngusir nih?"

"Gak. Sana lo."

"Emang ini Rumah elo?"

Awan hendak menjawab, lalu ia terhenti. Sial, kenapa susah sekali berdebat dengan orang di sampingnya.

"T-tapi gue anaknya. Elo siapa?"

"Yang bilang elo anak tetangga siapa?"

"Leo bangke lo!" Awan kehabisan kesabaran, ia mengambil semua bantal sofa lalu ia lemparkan ke tubuh Leo.

Tanpa di sadari mereka kembali ribut, kembali seperti semula. Entah siapa yang memulai, namun Leo nampak senang dan bahagia saat tahu sahabatnya dulu kembali seperti dulu.

Hal seperti inilah yang ia mau, kehangatan di antara mereka berdua. Kehangatan sahabat.

"Mati lo sana! Gak guna lo disini." Awan kesal dan duduk sedikit menjauh dari Leo. Mengabaikan ekspresi Leo yang nampak sekali bahagianya.

"Wan, ngerasa gak kalo kita udah mulai ngelunak? Maksudnya, udah sama kayak dulu lagi."

Awan dengan ekspresi judes itu menoleh. "Gak."

"Hahaha, jangan galak-galak dong." Ujarnya, lalu ia berjalan mendekati Awan. "Liat kita kayak gini, tanpa melibatkan perasaan. Rasanya bener-bener adem."

"Dan elo bener-bener egois."

Leo mengerutkan keningnya. "Gue?"

Awan mengangguk lalu menatap Leo. "Elo udah tau kalo gue suka sama elo, dengan cara becandaan lo nantinya, apa gak ngefek ke gue?"

Leo bungkam, ia mengusap wajahnya kasar. Mengapa untuk berbaikan saja harus serumit ini?

"Wan, please! Mau elo yang kayak gimana? Cuman baikan kayak dulu emang gak bisa hah?!"

Awan berdiri. "Semua berubah setelah kejadian itu, Leo! Semenjak lo benci sama gue, semakin gue mikir kalo gue memang gak bisa sedeket itu sama elo." Awan mengusap pipinya yang kini basah. "Dan, please lo ngertiin posisi gue! Orang brengsek kayak elo tanpa permisi datang lagi ke hidupan gue, setelah gue mati-matian ngelupain semuanya. Capek tau gak!"

Awan hendak melangkah menjauh dari Leo, hingga sosok itu memeluknya dari belakang.

Mengapa semuanya jadi rumit? Bisakah Awan melupakan semuanya? Melupakan cintanya dulu?

Mengapa dia menjadi bodoh hanya karena cinta?

.

.

.

.

"Please, Wan. Kalo memang baikan sama lo harus melibatkan perasaan, g-gue rela jadi gay buat lo."

Hingga semuanya terucap tanpa berpikir terlebih dahulu.

TBC...

VICTIM (21+) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang