Selama seminggu ini Awan mencoba tetap fokus untuk belajar agar ia bisa menjawab semua jawaban Ujian Akhir Semester. Jangan sampai kejadian yang sudah-sudah mengganggu konsentrasinya.
Setelah kejadian itu, Awan enggan menerima tamu yang hendak hadir. Sosok Leo yang berusaha untuk berbaikan dengannya, bahkan Irvan yang tidak tahu masalahnya pun kena imbasnya.
Yang pasti ia tidak mau memikirkan hal yang membuat hatinya sakit.
Hingga pada hari terakhir Ujian, Awan merasa lega dan berdo'a agar mendapatkan nilai yang sempurna.
"Awan, tunggu!"
Awan yang hendak turun dari tangga pun berhenti, menoleh dan mendapati sosok Irvan yang mendekatinya.
"Please, bilang sama gue apa salah gue? Kenapa gue main Rumah elo, elo selalu ngurung diri?"
Hingga rasa bersalah itu pun muncul, tidak seharusnya ia mengabaikan Irvan yang sekarang ingin mendekatinya.
"Gue minta maaf kalo memang gue ganggu elo akhir-akhir ini. Entah lo ada masalah apa, yang pasti elo harus kuat."
Awan menggeleng. "Gue yang harusnya minta maaf, Van. Maaf, udah cuekin elo akhir-akhir ini."
Irvan benafas lega setelah mendengar itu. "Gue pikir gue salah apa, sampe gue kepikiran tau gak."
Awan tersenyum. "Maaf ya sekali lagi. Eh btw belum makan 'kan? Gimana kita makan Ramen yang baru buka itu?"
Mata Irvan membulat seketika, merasa tidak percaya jika Awan mengajaknya makan bersama.
"Boleh, boleh banget! Ya udah sekarang aja." Hingga tanpa sadar Irvan menarik tangan Awan saking senangnya.
"Eh, sorry-sorry." Kekeh Irvan sedikit kikuk.
"Gak papa. Yuk jalan."
*****
Tanpa sadar Awan menceritakan semua apa yang telah terjadi, dari awal kepindahan ke Sekolah barunya, masalah yang terjadi pada dirinya, dan sosok Leo yang kini datang kembali.
Irvan sedikit terharu dan senang karena Awan telah terbuka dengannya. Walaupun sosok Awan baik, namun Irvan merasa Awan belum sepenuhnya terbuka dengannya.
Namun sekarang berbeda.
"Jadi... Elo masih cinta sama Leo itu?" Tanya Irvan. Mereka berada di Restauran Ramen yang di maksud.
Awan terdiam, hingga kepala menggeleng pelan. "Kalo di bilang nggak cinta, gue bohong sih. Gak mungkin ngelupain cinta pertama. Tapi setelah gue inget-inget kelakuannya dulu ke gue, agak mikir gimana gue gak cinta orang itu lagi."
Irvan terdiam, menatap Awan lekat. Sedikit pemikiran itu terlihat, apakah Awan mempunyai rasa kepadanya?
"Wan.. gue mau tanya."
"Kenapa?"
Irvan memantapkan hati jika ia harus jujur, untuk dirinya dan juga untuk Awan.
"Gue suka sama elo, apa elo punya sedikit aja perasaan buat gue? Sedikitttt gitu?"
Awan terdiam menatap sosok Irvan. Tentu ia mempunyai rasa untuk Irvan walaupun itu sedikit. Dari semua yang ia lakukan, hingga wajah menawan yang Irvan punya. Beruntung jika orang memiliki Irvan.
"Boleh kasih gue waktu, Van? Gue harus yakinin hati gue kalo gue juga harus suka sama elo. Senggaknya, gue bisa pacaran karena rasa cinta, bukan paksaan."
Irvan tersenyum dan mengangguk. Karena ia yakin, Awan akan memilihnya. Hingga sedikit memberi keyakinan agar Awan benar-benar mau menjadi pacarnya. Irvan akan tetap berusaha.
"Buat elo gue rela menunggu, Wan."
TBC....
KAMU SEDANG MEMBACA
VICTIM (21+) [END]
Teen FictionSaat cinta yang kau taruh pada orang yang salah, maka kau menjadi korbannya. (21+ area, please kebijakannya)