Di Minggu siang itu Awan tengah beristirahat karena ia habis menata ruang kamarnya, karena bosan melihat tata letak isi kamar.
Dirasa dirinya tidak terlalu berkeringat ia putuskan untuk mandi. Awan mengambil handuknya hingga dering telepon berbunyi. Ia mengambil dan ternyata itu telepon dari sang pacar.
"Halo." Sapa Awan.
"Hm, hari ini kamu sibuk?"
Awan sedikit mengerutkan alisnya, dari seberang sana suara Irvan terlihat begitu datar.
"Nggak, aku baru beres-beres kamar dan ini mau mandi. Kenapa? Mau main kesini?"
"Sudah mandi aku jemput kamu, aku mau keluar sama kamu."
"Oh... oke deh. kamu udah mandi?" Tanya Awan.
"Udah, aku siap-siap dulu kalo gitu. Bye."
Dan telepon pun dimatikan secara sepihak oleh Irvan.
Awan menatap handphonenya, merasa aneh. tidak seperti biasanya Irvan mengakhiri telepon secara sepihak dan lagi, suara Irvan terdengar sangat datar dan tidak seperti biasanya.
Apa ada sesuatu yang terjadi?
*****
Awan kini sudah rapi, hanya mengenakan sweater Biru laut dan celana Jeans pudar. Ia menatap pantulan dirinya dengan sedikit melamun.
Awan sedang berpikir apakah ada sesuatu yang terjadi dengan Irvan?
Tok... Tok... Tok...
"Aden, itu ada temen diluar."
"Iya Bi!" seru Awan, ia mengambil handphone dan dompet lalu ia turun kebawah.
Dari tangga, ia bisa melihat Irvan tengah sibuk dengan handphonenya. Entah apa yang sedang ia mainkan.
Awan juga bisa melihat wajah Irvan tidak seperti biasanya. Apa gerangan?
"Irvan, mau kemana nih kita?" Tanya Awan basa basi. Ia mencoba untuk bersikap ceria karena dilihat dari hawa-hawa yang tidak mengenakan.
Irvan mengangkat kepalanya dan menatap Awan datar, lalu ia bangkit dari duduknya.
"Sekarang aja kita perginya." Lalu Irvan berjalan keluar terlebih dahulu meninggalkan Awan yang kebingungan.
Irvan sudah diatas Motornya dan Awan ikut menyusul duduk di atas. Walaupun terlihat dingin, Irvan tidak lupa membawakan helm yang selalu dipakai Awan saat mereka bepergian.
Dalam perjalanan hanya diisi keheningan tanpa ada satupun yang berbicara. Awan menatap sembarang tempat sembari berpikir apa yang terjadi nanti. Irvan terlihat berbeda sekarang dan Awan tidak suka itu.
Hingga akhirnya Irvan mengajak ke salah satu Cafe Bubbles.
Awan sedang duduk berhadapan dengan Irvan yang sibuk melihat buku menu. Hingga mereka sudah memilih pesanan masing-masing dan keadaan kini kembali hening.
Awan melihat kanan dan kiri yang nampak begitu sepi. Wajar saja sepi karena Cafe ini baru saja buka dan mereka terlalu cepat datang.
Awan melirik ragu ke arah Irvan. "Emm... Van? Kamu gak papa?"
Irvan menoleh dengan tatapan yang sama seperti sebelumnya. Belum Irvan berbicara lalu salah satu Waiters datang membawa pesanan mereka.
Irvan menyeruput Ice Cappucinonya sejenak, lalu ia merogoh saku celananya untuk mengambil handphonenya.
"Aku mau tanya sesuatu dan kamu harus jujur sama aku."
Awan menatap heran dan jantungnya kini berdegup kencang. Entah mengapa tatapan dan ucapan Irvan membuatnya takut.
"J-jujur soal apa?"
Irvan menatap lekat wajah Awan. terlihat Cowok di depannya sedikit bingung dan heran.
"Kamu abis dari mana sama Leo?" Tanyanya dingin.
Mendengar itu membuat Awan terdiam kaku dan bingung harus bereaksi apa. Apa Irvan tahu soal dirinya yang menginap di tempat Leo?
Awan menghela nafasnya berat karena ia harus menjelaskan yang mana Irvan terlihat sangat marah dan cemburu.
"O-oke, kamu tau 'kan waktu itu aku demem? Aku abis dari Supermarket dan sialnya itu ujan deres." Jelas Awan sembari menatap mata Irvan. "Dan kebetulan Leo datang. Akhirnya dia nolong aku, dan makin sial lagi aku malah pingsan. Makanya aku nginep di rumah Leo."
Awan terdiam setelah menjelaskan itu, namun tidak ada reaksi berarti dari Irvan melainkan Cowok itu masih menatapnya lekat dan terlihat semakin datar.
"Aku minta maaf sebelumnya gak ngomong sama kamu." Ujar Awan melemah.
Irvan menghela nafas dan menyandarkan tubuhnya ke kursi. Lalu ia menyerahkan handphonenya.
"Kamu bisa liat sendiri apa itu."
Awan dengan ragu mengambil handphone milik Irvan. Betapa kagetnya saat ia tahu apa yang membuat Irvan marah dan bersikap dingin kepadanya.
Dan itu benar-benar membuat Awan terkejut.
Leo?
Leo? Setega itu?
"Kamu yakin cuma nginep? Apa iya nginep harus berpelukan sambil ciuman segala?!" Geram Irvan, lalu tangannya tak sengaja menggebrak meja yang mana membuat Awan terperanjat kaget.
"Kalo memang tau dia brengsek kenapa masih kamu deketin? Kalo punya otak pasti sudah tau buat nolak ajakan dia!" Seru Irvan. "Ngeliat kalian ciuman, pelukan, dan gak pake baju, apa aku gak panas??"
Awan tak mampu berkata-kata karena apa yang ia lihat membuatnya bingung dan kecewa, di tambah Irvan yang menyalahkan dirinya tanpa mendengar lebih jelasnya lagi.
Tapi, kalaupun Awan ada di posisi Irvan pasti ia juga sangat marah dan kecewa.
"Abisin minuman kamu, aku anter kamu pulang." Tungkasnya yang kini telah berdiri dan hendak berjalan menuju kasir, namun Awan menahan pergelangan tangannya.
"V-Van, dengerin aku please. Ini gak yang kek kamu bayangin." Ucap Awan melemah, matanya sudah memerah menahan sesak di dadanya.
"Gak ada yang perlu dijelasin." Singkatnya. "Kamu mau masih disini? Aku ada urusan lain."
Awan menunduk lemah, ia sudah tidak ada tenaga untuk berbicara yang mana itu membuatnya menjadi menangis.
"Tatap mata aku," Irvan mengangkat dagu Awan dan kini tatapan mereka bertemu. "Aku sayang dan cinta sama kamu, tapi aku rasa hubungan kita... cukup sampai sini. Makasih buat perjalanan kisah cinta kita." Tungkasnya dan itu membuat Awan membeku.
"Aku buru-buru dan aku harus pergi."
Hati Awan mencelos dan tak tahu harus berbuat apa. Rasanya ia begitu hancur, ia sudah dilecehkan oleh seseorang tanpa sepengetahuan dan ia harus menerima fakta bahwa Irvan mengakhiri hubungannya dengan dirinya.
Kini Awan kembali menjadi korban. Luka yang coba ia obati kini kembali menganga lebar. Rasanya... benar-benar sakit.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
VICTIM (21+) [END]
Teen FictionSaat cinta yang kau taruh pada orang yang salah, maka kau menjadi korbannya. (21+ area, please kebijakannya)