14

414 60 1
                                        

Aruna merapikan kotak obat yang sudah selesai ia gunakan. dirinya baru saja mengobati wajah Langit yang babak-belur, Aruna bisa melihat dengan jelas tangan Langit juga terlihat membiru.

Dalam sebulan ini Aruna sudah dua kali masuk UKS bukan karena sakit, namun mengobati orang.

"Sorry ya Lang, gara-gara kita berdua lo jadi gini.."

Anna yang sejak tadi hanya diam, membiarkan Aruna untuk mengobati luka Langit hingga selesai. Anna merasa bersalah karena jika bukan karena dirinya pasti tidak akan seperti ini.

Langit hanya tidak menjawab, ia hanya menoleh sekilas pada Anna lalu mengangguk. Sedangkan Aruna, anak itu tidak berani bicara sama sekali. Aruna meremas tangannya cemas.

Ia sangat takut pada Langit, apalagi Aruna juga tidak pernah melihat Langit semarah itu. Tapi Aruna juga tidak mungkin mendiamkan, menghindar, atau pun membiarkan Langit tidak mengobati lukanya. Itu mustahil.

Karena membela Aruna, Langit jadi diskor selama tiga hari dari sekolah. Persetan dengan Lungguh, Aruna tidak peduli dengan orang itu ikut diskor atau tidak. Lungguh penyebab ini semua.

"Gue mau ngomong empat mata sama Aruna." ucap Langit pada Anna tiba-tiba, membuat Aruna terlonjak kaget. Demi Tuhan, Aruna belum siap mati.

Anna yang bingung ikut ternganga, "Hah?"

"Tenang aja, gue ga bakal macem-macem sama dia," sambung Langit.

Anna mengangguk paham, lalu meninggalkan keduanya. Anna tahu Langit bukan tipikal anak yang akan berbuat aneh-aneh walaupun jika dilihat wajahnya kadang tidak meyakinkan.

Langit menatap Aruna yang duduk di kursi di samping ranjangnya, tempat yang sama seperti dua minggu yang lalu ia terluka karena bocah itu.

Walaupun Aruna dari tadi menunduk dan diam saja, tapi Langit tahu benar, gadis dihadapannya ini sedang menguatkan diri untuk tidak menangis.

Sudut bibir Langit terangkat kala tahu air mata Aruna baru saja menetes. Langit mengelus puncak kepala Aruna perlahan, "Gausah nangis, cengeng banget deh. Gue yang berantem juga."

Aruna menutup mulutnya agar tidak mengeluarkan suara. Aruna tidak mengerti, antara takut jikalau Langit kenapa-kenapa dan juga takut Langit akan marah padanya.

Aruna tertawa di tengah tangisnya. Hanya itu satu-satunya cara agar dirinya bisa menenangkan diri sendiri. "Hahaha! Sorry kalau lo bosen denger gue minta maaf mulu.."

Aruna mau mati saja rasanya, ia benci perasaan takut dan bersalah ini bercampur aduk. Dirinya semakin terisak saat Langit menarik tubuh Aruna agar sampai kepelukannya.

Setelah dirasa Aruna sudah mulai tenang, Langit mengendurkannya pelukannya lalu malah tertawa. Aruna yang kesal reflek memukul Langit.

Langit memegangi dadanya pura-pura kesakitan kemudian kembali tertawa.

"IH! Lo nyebelin banget sih!" ujar Aruna kesal lagi-lagi memukul Langit karena tahu laki-laki itu hanya beracting.

Gelak tawa Langit memenuhi ruangan saat itu, Aruna menghembuskan napas kasar. Langit tetaplah Langit, ia akan selalu mengganggu Aruna setiap ada kesempatan.

Langit menghentikan tawanya kemudian tersenyum lebar sambil mengangkat sebelah alisnya, "Cieeeeeeee nangisin gue nih ceritanya??"

Aruna menggeleng cepat. "Ga tau! Lepas ih!"

Langit ia bisa melihat mata dan hidung Aruna memerah sebab menangis. Langit tidak benar-benar melepaskan Aruna dari pelukannya, hanya memberikan posisi ternyaman untuk Aruna agar bisa bernapas dengan leluasa.

Menangis membuat hidungnya tersumbat dan jadi sulit bernapas tentunya.

"Langit!" protes Aruna karena Langit tidak kunjung melepaskannya. Sudah cukup, Aruna tidak mau jika ada murid yang melihat mereka dari jarak sedekat ini dan menyebarkan rumor macam-macam.

Kali ini Langit melepaskan pelukannya. Dengan cepat Aruna berdiri tapi tangannya kembali ditahan. "Mau kemana? Kan belum selesai." tanya Langit heran karena tatapan Aruna kini berubah.

"Sekali lagi gue minta maaf ya Lang.." kata Aruna mencoba melepaskan genggaman Langit.

Bukannya melepaskan, tapi Langit semakin mengeratkannya "Gapapa! Lo kenapa jadi main pergi gitu aja sih?"

"Lang! Lo ga boleh deket-deket gue lagi. Gue cuman pembawa sial dan gue ga mau lo kenapa-kenapa cuman karena gue."

Detik itu juga genggaman tangan Aruna terlepas, dan gadis itu meninggalkan Langit yang terdiam di tempatnya.

Detik itu juga genggaman tangan Aruna terlepas, dan gadis itu meninggalkan Langit yang terdiam di tempatnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Aruna | Mark Lee ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang