Aruna menyeruput es susu miliknya. Sesekali pandangannya terarah untuk melihat segerombolan laki-laki yang sedang berkumpul disudut kelas.
Aruna bergelut dengan otaknya sendiri karena sejak tadi dirinya tidak menemukan orang yang di carinya dalam gerombolan laki-laki di sana.
Jam istirahat belum selesai, tapi guru yang mengajar mereka sudah lebih dulu selesai. Untungnya Aruna bawa botol minum, jadi bisa sedikit menghemat uang jajannya. Toh dia sedang tidak mood berjalan ke kantin hanya untuk beli minum saja.
Ngomong-ngomong, laki-laki yang Aruna maksud itu Langit ya. Langit sejak bel masuk tadi tidak ada terlihat lagi batang hidungnya alias ga balik ke kelas.
Kalau dari feeling Aruna sih, anak itu bolos. Tapi kemana ya? Tidak mungkin juga Langit pergi jauh dari sekolah, itu karena tasnya masih ada di dalam kelas.
Aruna menoleh sekilas ke arah meja disampingnya. Aruna mendengus sebal, melihat sahabatnya itu tertidur begitu pulas. Aruna sudah tidak heran, karena semalam Anna begadang sampai jam 3 subuh untuk maraton drakor. Awalnya Aruna ikut menonton bersama, tapi dirinya terlalu mengantuk hingga tertidur. Kalian bayangkan, berapa banyak episode yang Anna sikat sekaligus? Yah gitu deh..
Dengan berat hati, dengan susah payah pula Aruna mencoba membangkitkan diri dari tempat duduknya. Perlahan Aruna berjalan keluar kelas, dan seperti yang diberitahukan sebelumnya ini masih jam pelajaran, membuat lorong kelasnya terlihat begitu sepi.
Beberapa teman kelasnya ada yang memilih keluar kelas, namun lebih banyak yang memilih untuk menetap. Sebenarnya sejak awal diberitahukan untuk tidak keluar kelas hingga jam pelajaran selesai, namun pasti ada saja orang-orang yang tidak mau menuruti peraturan itu. Termasuk Aruna.
Aruna melangkah perlahan, melewati kelas-kelas yang masih sibuk berkutat dengan buku-buku tebal mereka. Ditemani suara cerewet guru yang mengajar tentunya.
Dengan langkah santai, Aruna menaiki satu persatu anak tangga. Entah mengapa, ia sangat ingin ke rooftop. Tidak usahlah tidur, hanya duduk bersandar sambil merasakan angin bertiup sepoi-sepoi, memandangi langit biru yang cerah hari ini sangatlah indah.
Aruna ingat, dulu, saat dirinya masih SD, mungkin sekitar kelas 1 SD, ada seorang guru yang menanyakan tentang cita-cita yang ingin Aruna gapai jika besar nanti.
Dan dengan semangatnya Aruna menjawab, ia ingin bisa terbang. Bermain lompat-lompatan di awan yang empuk dan tidur di sana. Lalu jika malam, ia bisa menangkap beberapa bintang untuk dijadikan penerangnya atau hanya sekedar memandanginya. Memandangi betapa hebat dan cantiknya ciptaan Tuhan. Aruna ingat juga, dulu dia pernah bercerita pada Anna bahwa, jika ia sedang menginap di langit, Aruna ingin sekali Bulan untuk menceritakan kisah dongeng padanya.
Sungguh, jika mengingat itu, Aruna merasakan bahwa dirinya sangat bodoh. Tapi disisi lain ia bisa memaklumi, akibatnya itu hanya pikiran seorang anak kecil yang belum mengerti betapa kejamnya dunia ini.
Dunia yang begitu luas ini.
Saat membuka pintu masuk langsung ke rooftop, Aruna sedikit terkejut namun juga bingung, di kala indra penciumannya merasakan sesuatu. Aruna mencium asap rokok yang menyengat.
Dengan cepat matanya menelisik, dan benar saja, ada seorang anak laki-laki yang sedang duduk bersandar di dinding dengan batang rokok yang menempel di antar jari-jarinya. Asap rokok mengepul disekitarnya.
"Langit? Lo ngapain di sini?"
Langit dengan tak acuh mengangkat bahunya malas, tetap melakukan aktivitasnya tanpa memperdulikan Aruna.
"Lang," Aruna kembali memanggil.
"Lo sendiri ngapain di sini? Mau bolos ya?"
"Pak Ali ngajarnya bentar banget, udah selesai."
Aruna ikut duduk di kursi yang cukup tua dan agak rusak itu. Aruna sengaja duduk tidak begitu dekat dengan Langit. Nanti jika bau asap rokok menempel padanya, kan berabe urusannya.
"Bangsat bangsat," umpat Aruna sambil menatap langit. Ah ya, langit di atas ya, bukan Langit Genandra. Hahaha.
"Kenapa lo?"
"Lagi ngatain langit," kata Aruna sambil menghentakkan kakinya kasar.
"Hah? Lo ngatain gue?"
Aruna berdehem, "Engga, gue ngatain langit yang di atas."
"Lah kenapa?"
"Gue males ngeliat muka lo, lagian gue natap ke atas sama aja namanya. Langit."
"Ya, lo ngatain gue kenapa anjir? Gue ga salah apa-apa juga."
"Gue ke sini pengen ngerasain angin sepoi-sepoi sambil natap langit, biar keren kayak di film-film gitu. Kalau bosen terus ngilangin stres ke tempat yang tenang gitu kan. Eh lo malah ngerokok di sini, ngerusak banget."
Tersenyum singkat, Langit kembali mengisap rokoknya. "Ya udah, tatap gue aja. Mau natap langit kan? Gue Langit." Langit berucap setelah menghembuskan napasnya. Bersamaan dengan kepulan asap yang dikeluarkan dari mulutnya.
Sumpah, Aruna berani sumpah. Pengen banget ngegebuk Langit.
"Ogah, eneg gue ngeliat muka lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aruna | Mark Lee ✓
Teen Fiction❝Lo tuh harusnya hati-hati, entar lo suka sama gue. Mampus lo!❞ ❝Gak dulu, makasih.❞ ©jaayrxs 2021