17

287 57 4
                                    

Aruna berjalan malas menuju kelasnya. Mungkin bisa dibilang Aruna melangkah terlalu pelan saat ini. Barusan ia dari kantin membeli roti dan susu kotak untuk istirahat makan siangnya. Aruna terlalu malas berlama-lama di kantin hari ini.

Jika kalian bertanya, "Loh Anna mana?" "Anna kok ga ada sih?" "Biasanya lengket mulu, Anna nya mana?"

Aruna sendiri tidak tahu di mana Anna. Rasa-rasanya tadi Anna ada disampingnya, tapi tidak tahu kemana sekarang. Hari ini Aruna sangat tidak bersemangat, bahkan untuk mengedipkan mata saja rasanya terlalu malas. Matanya menatap lurus ke depan, dengan wajah datar.

Dari kejauhan Aruna mendengar seseorang memanggilnya. Ia menghela napas karena tau benar siapa orang itu. Suara yang sangat familiar ditelinga Aruna. Kini suara langkah kaki itu terdengar semakin mendekat.

Namun sayangnya Aruna tidak terganggu dengan suara itu. Bahkan Aruna seakan menuli, dan terus melangkah seakan tak terjadi apa-apa.

Tangan Aruna dipegangi cukup kuat, membuat langkahnya terhenti. Padahal tidak perlu ditahan juga Aruna tidak akan lari.

"Run- Loh Aruna? Lo kenapa? Sakit?"

Lungguh menatap dari ujung kaki hingga ujung kepala Aruna, memastikan apakah benar tidak ada yang terluka. Ia cemas akan wajah Aruna yang begitu pucat.

Aruna tidak menjawab, dirinya menggeleng malas saat mendengar pertanyaan Lungguh yang terdengar begitu takut ia kenapa-kenapa.

"Bohong. Gue anter ke UKS ya? Atau mau pulang aja?" tawar Lungguh.

Aruna menepis tangan Lungguh yang masih menggenggam pergelangan tangannya. Lungguh yang mengerti hanya dapat menatap Aruna dengan memelas.

"Aruna.. Gue cuman mau kita kayak dulu lagi. Gue ngaku kalau gue salah.."

Aruna bertanya-tanya mengapa ia merasa sekitarnya jadi sepi, tidak ada satupun murid yang berlalu didekatnya sejak tadi. Padahal bell masuk masih sekitar lima belas menit lagi.

"Aruna.." panggil Lungguh lembut.

Aruna berdecak sambil menghentakkan kakinya kasar, "Ga bisa!"

"Sampai kapan lo benci sama gue sih, Run? Gue harus minta maaf berapa kali lagi? Atau perlu gue sujud didepan lo?" Nada bicara Lungguh kini sedikit naik.

Aruna menutup matanya menahan sesuatu yang hampir meledak dalam dirinya. "Lungguh Anggana.." ucap Aruna terdengar lirih.

Kali ini Aruna mencoba sebisa mungkin untuk tidak menangis di depan laki-laki yang pernah menjadi alasan bahagianya ini.

"Gue ga pernah benci sama lo. Gue sedikitpun ga pernah bisa benci sama lo, walau mau sekuat apapun gue coba. Gue benci fakta kalau gue ga akan pernah bisa benci sama lo!" Jelas Aruna menekankan setiap kalimatnya.

Aruna menarik napasnya, ada sesuatu yang membuat napasnya tercekat.

Lagi-lagi, Aruna teringat kejadian beberapa bulan yang lalu. Dimana ia melihat Lungguh memeluk erat seseorang, kala orang itu menerima cintanya. Aruna ingat, betapa banyaknya orang yang ikut mengerumuni mereka berdua.

Iya. Lungguh baru saja menyatakan cintanya pada Sari, adik kelasnya. Hari dimana seharusnya ia dan Lungguh merayakan anniversary ke dua tahun mereka.

Aruna bagai seorang penjahat diantara mereka. Aruna tidak juga tidak pernah membenci Sari, karena Aruna tahu Sari adalah korban. Lungguh berkata bahwa ia sudah putus dengan Aruna satu minggu sebelumnya, bukan salah Sari jika mempercayai alibi itu.

Terlebih, gadis mana yang tidak terpikat oleh seorang Lungguh? Cowok ganteng dengan segala gombalan mautnya.

"Tapi kalau lo suruh gue buat balik lagi, maaf gue ga bisa. Gue udah bilang berkali-kali, kasih gue waktu. Gue kecewa sama lo, lo ngerti ga sih?!"

Anna yang dari tadi mencari Aruna menghela napas lega karena akhirnya menemukan bocah itu. Anna khawatir jika Aruna tiba-tiba saja pingsan, dari awal berangkat sekolah Aruna sudah berkata bahwa badannya kurang enak.

Dari kejauhan Anna melihat Aruna tengah menahan air mata yang membendung di pelupuk matanya. Anna melirik ke arah lain, di mana Lungguh juga berada di situ.

Anna menggelengkan kepala, ada perasaan kesal yang ditahannya selama ini pada laki-laki itu. Niat awalnya ingin menghampiri Aruna, tapi entah dari mana Langit tiba-tiba datang dan menahan Anna.

"Langit?"

Langit menggeleng pelan, "Biarin mereka yang nyelesain sendiri."

"Tapi-"

"Na, mereka udah sama-sama dewasa. Kita liat mereka dari jauh aja, kalau tuh cowok berani macem-macem sama Aruna, gue janji bakalan habisin dia detik itu juga."

Tak tahu kenapa Anna tidak bisa menjawab perkataan Langit saat itu. Anna tidak pernah melihat Langit setegas dan seserius itu sebelumnya. Yang Anna tahu Langit cuman cowok dengan berbagai kelakuan randomnya yang selalu buat orang-orang disekitarnya bisa tertawa dengan lepas. Tapi kali ini, Anna merasa vibes Langit jauh berbeda dari biasanya.

Anna melirik Aruna sekilas lalu ke arah Langit. Ia menyipitkan matanya curiga, "Lo suka ya sama Aruna?"

"Orang guenya suka sama lo."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

KAGET KAN LO PADA??! SAMA CUY! GUE SENDIRI YANG NGETIK JUGA KAGET LANGIT BILANG GITU

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

KAGET KAN LO PADA??! SAMA CUY! GUE SENDIRI YANG NGETIK JUGA KAGET LANGIT BILANG GITU.
(〒﹏〒)

Aruna | Mark Lee ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang