Aruna menghela napasnya berat. Dari kejauhan, ia bisa melihat seorang laki-laki yang sedang berjalan ke arahnya kini sedang asik menggendong seorang anak perempuan.
Padahal niat Aruna yang tadinya cuman bercanda alhasil benar-benar diiyakan oleh Langit. Langit sungguh menjemputnya 15 menit kemudian. Inginnya sih jalan-jalan keliling didekat-dekat saja, tapi malah jadi ke mall.
Tanpa sengaja seorang bocah menghampiri mereka dengan air mata berlinang. Setelah ditanya, ternyata ia terpisah oleh orang tuanya.
Jujur saja Aruna sedikit panik, karena bocah itu tidak henti-hentinya menangis. Namun, dengan keajaiban dan kelakuan Langit yang random-able berhasil membuat anak tersebut kembali tertawa.
Sekarang Aruna dibuat kesal oleh Langit, karena bukannya melaporkan masalah ini kepihak berwajib malah membawanya membeli ice cream. Tidak salah memang, tapi Aruna takut jika nantinya mereka berdua jadi di tuduh menculik anak-anak.
"Langit!"
Aruna menghentakkan kakinya sebal. Ia terpaksa ikut menghampiri Langit dan bocah perempuan itu, yang sedang asik menunggu ice cream pesanan mereka jadi.
"Udah belum sih? Cepetan dikit kek, nanti kalau orang tuanya panik nyariin gimana?!" ujar Aruna kesal.
Langit tersenyum kecil, lalu menyondorkan ice cream rasa coklat ke arah Aruna. "Nih ambil dulu tangan gue penuh, santai aja.. Kenapa sih?"
Aruna memutar bola matanya malas, sembari menyambut ice cream di tangan Langit.
Tiba-tiba tatapan Aruna tertuju pada bocah kecil di gendongan Langit. Jika dilihat-lihat wajahnya sangat mirip dengan Langit. Aruna jadi curiga jangan-jangan Langit pernah menghamili seorang wanita lalu ditinggal begitu saja.
Detik itu juga Aruna menggeleng cepat, memukul-mukul pipinya pelan guna menyadarkan diri dari hal-hal yang dipikirkannya.
"Namanya siapa?" kata Aruna pada bocah perempuan yang tengah asik memakan ice cream di pangkuannya.
"Acha!" jawabnya semangat. Jika dilihat mungkin umurnya sudah memasuki empat tahunan.
Sekarang Aruna dan Acha tengah menunggu Langit yang tengah melapor pada petugas setempat.
"Ayah! Bunda!" teriak Acha sambil menunjuk segerombolan orang-orang dari kejauhan.
Tidak menunggu lama akhirnya Langit datang bersama seorang petugas, diikuti oleh orang tua Acha.
"Makasih yah mas, mba. Saya bener-bener ga tau lagi kalau ga ada mas sama mba nya.." kata seorang laki-laki yang, sepertinya adalah Ayah Acha. Terlihat perempuan di sampingnya memeluk erat Acha, menatap putrinya khawatir. Ya, sudah dipastikan itu pasti Ibunya Acha.
Aruna jadi merasa bersalah karena membiarkan Acha lebih lama bersama mereka. Mungkin jika Aruna dan Langit langsung melaporkannya Ayah dan Ibu Acha tidak akan sepanik ini.
"Iya pak, gapapa. Lain kali, hati-hati aja. Kasian anaknya," ujar Langit tersenyum seramah mungkin.
Setelah berpamitan dengan Ayah dan Ibu Acha, Aruna memutuskan untuk pulang karena takut ke kemaleman. Tapi Langit lagi-lagi memberhentikan mobilnya seenaknya di tukang sate dekat rumahnya.
"Kan gue udah bilang, gue ga laper Langit. Nanti kalau Anna nyariin gue gimana?"
"Cerewet."
"DIH KOK GITU!"
Langit mengedikkan bahu nya tak peduli. Sedangkan Aruna masih saja mengomel-ngomel tidak terima karena ia sudah sangat lelah.
"Mang! Satenya tiga. Dua makan sini, satunya bungkus." ujar Langit kemudian duduk di kursi lebih dulu.
Aruna mengerutkan kening. "Banyak banget dah, buat apa?"
"Buat Anna di rumah, kasian kalau ga dikasih."
Aruna mengangguk-ngangguk. Tidak ingin protes karena yang membayar juga Langit.
"Beuh Runa! Sapa tuh? Pina gagah banar.. Pacar ikam kah?" Amang Rahman atau biasa Aruna panggil Mang Ahman itu sedikit berbisik namun masih bisa didengar oleh Langit. (Siapa tuh? Keliatan ganteng banget. Pacar kamu?)
"Apaan sih Mang.. Temen doang." Aruna menahan senyumnya lalu ikut duduk di samping Langit. Mau kesel tapi Amang emang gitu.
"Temen hidup?"
"Amang ih!"
Mang Ahman tergelak, Aruna menatap kesal ke arah Langit yang juga ikut-ikutan tertawa.
"Lo paham bahasa banjar?" tanya Aruna pada Langit.
"Ngerti dikit," ucap Langit kembali tertawa, membuat Aruna menatap sinis pada Langit.
Beberapa saat kemudian Mang Ahman datang dengan membawakan dua piring sate yang sudah dipesan. "Kenapa rang? Gagah tuh, kada handak kah ikam?" Lagi-lagi Mang Ahman nanya gitu. (Kenapa sih? Ganteng tuh, kamu engga mau kah?)
"Kada ah.. Bentar- ini tempat makan apa tempat interogasi sih??" ujar Aruna mulai kesal dengan pertanyaan mengadi-ngadi si Mang Aman. (Engga ah..)
Mang Ahman kembali tertawa. "Akay? Makan sudah, pina bepikir banar handak makan." (Astaga? makan sudah, mau makan aja mikir banget).
Setelahnya Mang Ahman pergi, kini ia lebih fokus membuatkan pesanan karena mulai banyak orang yang berdatangan.
Beberapa saat ada keheningan di antara Langit dan Aruna. Keduanya memilih untuk fokus makan, makanan keduanya sama-sama habis.
Akhirnya pulang!
KAMU SEDANG MEMBACA
Aruna | Mark Lee ✓
Fiksi Remaja❝Lo tuh harusnya hati-hati, entar lo suka sama gue. Mampus lo!❞ ❝Gak dulu, makasih.❞ ©jaayrxs 2021