Entah ini hanya perasaan Aruna atau bagaimana, ia merasa satu bulan telah berlalu begitu cepat.
Selama satu bulan ini Aruna tidak mendapat gangguan dari Lungguh ataupun Langit, mungkin beberapa kali mereka berpapasan karena mengingat mereka sekelas. Jikalau bertemu Lungguh, Aruna bisa saja saling bertukar senyum. Hanya saja berbeda dengan Langit.
Langit benar-benar menjadi asing bagi Aruna, begitupun sebaliknya. Padahal Anna sudah beberapa kali membujuk Aruna untuk menyudahi kegiatan diam-diaman ini, tapi Aruna ya tetap saja Aruna. Ia akan terus mengikuti gengsinya.
Anna merutuki Aruna, padahal masalahnya dengan Lungguh, lalu kenapa Langit juga ia diam kan? Bukan maksud Anna membela Langit, tapi selama ini Langit banyak membantu mereka berdua.
Sebenarnya Anna beneran greget banget sama Aruna. Tapi kalau keinget sama kejadian satu bulan yang lalu mungkin Anna juga akan ngelakuin hal yang sama seperti Aruna.
**********
SATU BULAN YANG LALU...
Biasanya pagi hari seperti ini, Aruna akan selalu mengeluh akan berbagai hal. Termasuk tentang malasnya ia ke sekolah, tapi semalas-malasnya Aruna tetap saja akan berangkat ke sekolah.
Walaupun sesekali dia dan Anna terkadang membolos namun tidak pernah sampai keluar dari sekolah. Paling membolos satu atau dua mata pelajaran, kemudian baru mereka akan kembali ke kelas.
Namun pagi ini, Anna lah yang heboh dari tadi. Masih pagi sudah bikin keributan.
"Runa!"
"Apa sih?"
"Sesusah itu lo nurunin gengsi, hah? Seharusnya lo minta maaf sama dia! Ketimbang negur doang anjir!"
"Ngapain gue negur duluan? Dih ogah, gengsi gue tinggi. Sorry. Lo tau gue, dan pokoknya gue ga bakal negur kalau ga ditegur duluan."
"Ya allah, Arunaa.."
Aruna menarik napas dalam-dalam. "Anna.." lirih Aruna.
"Gue coba buat baik-baik aja. Lo pikir gue ga ngerasa bersalah? Gue ngerasa bersalah, Na. Gue gelisah setiap kali kepikiran dia," sambung Aruna memelas.
"Minta maaf kan bisa, Run? Pikiran lo lagi kalut pas itu, masalah dimaafin atau engga itu urusan Langit. Yang penting lo minta maaf dulu.. Allah ga suka sama orang yang ga bertegur sapa apalagi sampai tiga hari lebih," bujuk Anna sembari mengingatkan.
"Gue bisa aja minta maaf sekarang," kata Aruna menggantungkan kalimatnya.
"Tapi?"
"Tapi Langit sendiri yang bikin gue ngerasa kalau dia ga pernah nganggep gue ada."
Anna mengerutkan kening tanda bahwa ia sedang mencerna perkataan Aruna. "Maksud lo?"
"Lo ga sadar?" Aruna malah balik bertanya.
"Sadar apaannnnn?"
"Setiap kali gue ga sengaja ketemu atau papasan sama dia, dia cuman lewat gitu aja seakan gue ga ada."
"Perasaan lo aja kali.. Sama gue enggak gitu tuh."
"Lo bukan gue, Na. Kita beda. Mungkin kalau dia nengok masih kurang lebih, buat ngelirik gue aja engga ada, Na. Apalagi natap gue. Gue bener-bener kayak ga pernah ada."
Anna berhenti berbicara kali ini, ia sadar sekarang, Langit memang seperti menganggap Aruna tidak pernah ada.
Aruna tertawa sarkas, "Bukannya gue ga tau terima kasih, Na. Cuman gue punya harga diri, minta maaf sama orang angkuh kayak dia sama aja nginjek-nginjek harga diri gue."
Setelah kalimat itu Aruna berbalik, melenggang pergi lebih dulu. Ada sebuah perasaan yang kacau dalam diri Aruna. Tapi ia tidak berniat memperlihatkan pada sahabatnya itu.
Aruna mempercepat langkahnya tanpa menghiraukan teriakkan Anna yang memanggilnya. Tanpa sadar Aruna menjatuhkan sesuatu yang dari tadi ditahannya. Pipinya yang mulai basah karena air mata itu cepat-cepat dihapusnya. Aruna menyumpahi dirinya sendiri hanya karena tidak bisa menahan tangis.
Aruna harus baik-baik saja.
Merasa kesal, Anna menguatkan langkah kakinya mengejar Aruna. Anna mencekal tangan Aruna cukup kuat agar gadis itu berhenti.
"Aruna? Lo gak apa-apa?"
Anna bertanya cemas, padahal Anna sadar bahwa perempuan yang lebih muda darinya itu seperti sedang mencoba menahan sesuatu yang akan tumpah membanjiri wajah cantiknya.
Aruna mengangguk lemah kemudian melanjutkan jalannya yang tidak secepat tadi. Bahkan Anna merasa Aruna berjalan terlalu pelan sekarang.
"Gue benci sama perasaan bersalah ini, Anna.."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.