Raka mengerem kuat kakinya saat dari jauh melihat semua orang telah berkumpul. Dari kejauhan pun Raka tau di sana ada kedua orang tuanya, calon mertuanya, dan tak lupa Bayu---sahabatnya.
Entah mengapa, Raka merasa seperti ada yang menahan kakinya untuk berjalan hingga melangkah saja baginya terlalu berat.
Melihat Ibu mertuanya menangis meraung-raung seraya memanggil nama putrinya membuat rasa takut Raka semakin memuncak. Walau sulit, Raka tetap berjalan pelan. Bisa dilihatnya wajah orang-orang yang ia sayangi kini menangis, terkecuali Bayu yang terlihat sangat frustasi namun enggan untuk mengeluarkan cairan bening yang membendung di pelupuk matanya.
Tuhan, hamba belum siap...
Bayu menoleh saat instingnya merasakan seseorang tengah berjalan mendekat ke arahnya. Dan benar saja dugaannya. Amarah yang sedari tadi di tahannya kini semakin memuncak. Bayu berdiri, melangkah dengan cepat tanpa melupakan kepalan tangannya yang dilayangkannya ke pipi mulus Raka.
Bak orang yang diambil jiwanya. Raka tak melawan, namun hanya menatap Bayu datar. Bayu semakin tak dapat menahan emosi, dengan sekuat tenaga laki-laki itu melayangkan pukulannya.
Rinda yang tidak tega melihat putranya dipukuli ingin melerai namun di tahan oleh suaminya. Jujur saja Fahri juga tidak tega, namun pria itu merasa keadaan akan semakin kacau jika ia tak menahan Rinda.
Darah mengalir dari sudut bibir Raka namun Bayu tak berhenti di situ. Bayu dengan sigap mencengkram kerah baju sahabatnya itu kuat. Napasnya ikut memburu.
"Lo dari mana, hah?"
Raka diam.
"LO KEMANA AJA BANGSAT?!" Bayu lagi-lagi menghantam wajah Raka kuat hingga terdengar jeritan keras Rinda.
Bayu mengangkat tubuh Raka yang mulai tak berdaya dengan kasar, "Gue tanya sama lo, Ka. Lo dari mana? Kenapa lo ga ngangkat telpon gue?! Semua orang nyari lo bego!"
"Maaf..."
Mendengarnya Bayu berdecih lalu membuang pandangannya.
Rinda berlari memeluk puteranya kala Bayu melepaskan cengkraman tangannya dan menjauh, dengan lembut tangan Rinda mengusap pipi Raka.
"Kamu kemana aja sayang?" Rinda bertanya dengan bibir yang bergetar menahan tangisannya.
Raka menggeleng pelan, tangan besarnya menggapai pipi Rinda untuk menghapus tangis perempuan itu.
Reflek Raka menoleh kepada dua insan yang kini tengah menangis tak jauh dari tempatnya berdiri. Raka menatap sejenak Rinda untuk meyakinkan bahwa ia baik-baik saja.
"Lo terlambat, Ka."
Bagai disambar petir, langkah Raka terhenti yang tadinya ingin mendatangi kedua orang tua Nesa. Raka berbalik, menatap Bayu dengan ribuan tanda tanya yang datang.
"Lo telat, Ka!" Bayu meninggikan suaranya. Tak seperti tadi, air mata Bayu kini mengalir deras. Matanya merah, napasnya tersengal-sengal, menahan segala rasa sakit, amarah, dan kekecewaan.
"Nesa udah pergi.."
Raka masih diam di tempat menatap Bayu. Sejak awal Raka tahu, Bayu juga menyimpan perasaan pada Nesa namun laki-laki itu memilih untuk mengalah dan meyakinkan dirinya jika Raka bisa menjaga wanita kesayangannya lebih baik darinya. Tapi nahas, Raka tak bisa menepati janjinya.
Raka berbalik arah menuju Bayu. "Maksud lo apa?" ujar Raka dengan nada kesal.
"Nesa udah ga ada, Ka.. Lo—"
Kalimat Bayu terpotong ketika Raka lebih dulu berteriak menyangkal.
"Bohong! Lo ga usah bohong sama gue deh, Bay. Gue dateng kesini bawain gorengan kesukaan Nesa, gue telat karena mampir dulu buat beliin Nesa makanan! Nesa bilang sama gue hari ini dia pulang, dia baik-baik aja! Lo ga usah ngomong yang macem-macem!"
Bayu menggelengkan kepalanya. Telinga Raka dipenuhi suara tangis yang terdengar sangat menyakitkan. Namun Raka tetap tak percaya.
Kini Raka berbalik, berlari ke arah Nina—Mama Nesa. Raka menggenggam erat tangan yang tak kalah lembut dari Ibunya itu. Dengan sekuat tenaga, Raka mencoba menatap Nina dengan tatapan bertanya-tanya, berharap Nina akan berkata bahwa semuanya baik-baik saja. Berharap wanita itu akan berkata bahwa Bayu berbohong padanya, dan mengatakan jika Nesa akan pulang hari ini dengan senyum yang mengembang lalu memeluknya erat.
"Mah.." panggil Raka hati-hati.
Tangis Nina semakin menjadi-jadi, ia tak berani menatap laki-laki yang akan menjadi calon menantunya itu.
"Mah, jawab Raka Mah.. Yang Bayu bilang itu ga bener kan?"
Tak menjawab Nina malah memeluk tubuh tinggi Raka dengan erat. Nina menangis kuat seraya menggeleng. Kini tatapan mata Raka beralih pada pria paruh baya di sampingnya Pria yang menjadi pendamping hidup Nina selama ini. Raka menatap pria itu dengan tatapan yang sama, ia diam namun matanya seolah bertanya, "Abah.. Nesa gak apa-apa kan? Semua baik-baik aja kan?"
Namun sepertinya semesta tak berpihak pada Raka kali ini, Rahman mengusap lembut kepala Raka. Orang yang sudah dianggapnya seperti putranya sendiri, jauh sebelum Raka menyatakan keseriusan perasaannya pada Nesa.
"Kamu yang ikhlas ya, Nak.. Yang kuat.. Mungkin ini sudah takdir yang di atas." Rahman berucap dengan air mata yang tak hentinya keluar. Pria itu sudah sekuat tenaga bertahan untuk tak menangis, namun rasa sayang pada putri semata wayangnya itu teramat besar membuat ia tak kuat.
Tangan Raka membalas pelukkan Nina. Runtuh sudah pertahanannya, cairan bening yang sejak tadi di tahannya dengan bebas terjun.
Masih menatap wajah Rahman, Raka berucap, "Tapi saya belum siap, Bah.."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aruna | Mark Lee ✓
Novela Juvenil❝Lo tuh harusnya hati-hati, entar lo suka sama gue. Mampus lo!❞ ❝Gak dulu, makasih.❞ ©jaayrxs 2021