#12 Kebencian

190 34 4
                                    

Shandy. Sejauh ini-menurut kalian, bagaimana keadaan keluarga Shandy? Mengingat kehidupan remajanya yang bisa dikatakan keluar jalur. Broken home? Nehi. Adanya kekerasan? Nehi. Kesepian seperti Ricky? Aca-aca nehi-nehi. Tidak semua itu! Keluarganya kaya penuh kesederhanaan, kebahagian dan nyaris sempurna seperti keluarga Fajri.

Lalu apa yang membuat seorang Shandy Maulana memilih jalan sesat? Ia memiliki Emak yang penyayang, punya Bapak yang pekerja keras, namun tetap meluangkan waktu bersama keluarga. Juga seorang adik perempuan yang ia sayangi melebihi apapun di dunia ini, Nindy.

''Bangsen, bantuin promosi barang jualan Ninin yah?'' Kata Nindy dengan mata berbinar dibuat-buat.

''Gak usah manja! Man-di-ri!''

''Emang salah gue berharap ke Bangsen!''

''Emang! Lo kan selalu salah.'' Yaa, jika di luar cewe selalu benar, maka di rumah Nindy selalu salah.

''Ih nyebelin! Maakk, Paakkk...'' rengek Nindy

''Ayolo Sen, adiknya ngambek.''

''Nanti aja kalo Nindy balik ke Bali nangesss. Bilangnya kangen sampe mau beli Bali dibawa pulang.''

''Bapak lebay, aku gak ada ngomong gitu ya!''

''Emak saksinya Sen.'' Bagus, ia tersudut kali ini.

''Gak ada yang berpihak ke Shandy. Oke, bye! Shandy pergi! Jangan cari Shandy lagi,'' katanya lengkap dengan gaya sok tersakiti.

''Jangan tahan aku! Biarkan aku bahagia dengan kehidupan yang baru,'' lanjutnya lengkap dengan drama tarik menarik dengan angin dan akhirnya hilang di balik pintu.

''Stress!'' hujat Nindy, sementara Emak dan Bapak hanya geleng-geleng kepala.

Shandy tersenyum meninggalkan rumah sederhana miliknya. Menjadi sederhana bukan berarti dari ujung rambut sampai ujung kaki dihiasi dengan barang murah, tetap barang bermerek yang terlihat sederhana saat Shandy memakainya. Tampangnya mengatakan, ia tidak berbakat menjadi orang kaya.

Langkahnya sukses terhenti saat ia melihat Mas Imbon membukakan pintu mobil untuk majikannya. Seseorang yang ia sebut bajingan. Tidak seperti biasa, bajingan itu kini sudi menginjakan kakinya di rumah sederhana Pak Dandi.

Mungkin benar semua yang ia miliki berasal dari dompet bajingan itu, tapi juga berkat usaha ayahnya yang terus bekerja dengan bajingan seperti orang itu.

''Maaf Tuan, sudah berapa lama disini?'' Shandy melihat ayahnya menghampiri bajingan itu dengan penuh hormat.

''Saya heran sama kamu Di. Dengan semua gaji yang kamu dapat dari bekerja bersama saya, kamu harusnya bisa beli rumah yang lebih bagus dari ini. Kayaknya kamu kalah sama anak kamu ini, lihat dari atas sampai bawah bermerek semua hahaha.''

Apanya yang lucu? Pikir Shandy. Matanya masih menatap bajingan itu dengan nyalang.

''Tapi kamu masih tau diri sih,'' sambungnya.

''Maksudnya?''

''Enggak bukan apa-apa. Hari ini saya ada janji temu sama kepala sekolah SMA Nusantara, tolong rapat pagi ini ditunda dulu dan kamu ikut saya. Anak kamu juga sekalian saya antar,'' pintanya sambil kembali masuk ke dalam mobilnya.

Shandy melihat ayahnya mengikuti perkataan bajingan itu seperti orang bodoh. Apa dia tidak sadar keluarganya sedang di rendahkan? Pikir Shandy.

''Ayo Sen!''

''Gak deh, Bapak aja. Mobilnya terlalu murah buat Shandy tumpangi. Lebih baik naik bus sekolah.'' Lalu ia pergi begitu saja.

Si bajingan itu berdecih tak percaya dengan apa yang Shandy katakan.

SONBU || Zweitson UN1TY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang