#27 Restoran

167 39 3
                                    

"Lo bukannya hancurin hidup Ricky?"

"Gak! Itu keputusan dia sejak awal. Kalau dia mau, dia bisa ngelakuin apa aja dengan uang yang dia punya. Bahkan dia bisa bully gue balik, tapi dia gak lakuin itu."

"Alasan!"

Shandy pun merasa itu hanya sebuah alasan. Ia enggan mengakui betapa marahnya dia dengan keputusan Ricky. Akan lebih baik jika saat itu Ricky melaporkannya ke polisi. Shandy tak habis pikir dengan apa yang ia lakukan.

Kenapa dia goblok banget dah?!

Lalu dengan segenap rasa marahnya, ia berakhir disini. Di pekarangan rumah sambil menyirami tanaman yang terlihat kepanasan itu. Seperti dirinya.

"Bangsen ngapain sih nyiram tanaman siang bolong begini?" tanya Nindy sambil membawa secangkir teh dan sepiring biskuit kesukaannya dan duduk di teras rumah.

"Kasiah kepanasan," jawabnya acuh, bahkan ia tidak menoleh ke adik tersayangnya itu.

"Bang, lo sekolah kan? Nyiram tanaman siang-siang bukannya bikin itu tanaman seger tapi mati!" Shandy tak merespon.

Tak mendengar suara cempreng Nindy lagi, Shandy kembali berkutat dengan pikirannya. Sekarang ia merenungkan perkataan Gilang. "Karena dia sadar, yang penting itu hidupnya bukan uangnya." Lalu kenapa dia memilih mati?

Karena lebih baik mati dari pada harus hidup dengan mengandalkan kekuatan uang. Lebih baik ia meninggalkan keduanya. Shandy pun pernah berpikir demikian, tapi pada akhirnya ia memilih jalan lain. Bukan hidup, bukan uang, melainkan hancur.

"Bang! Udahan anjir itu becek semua ih! Nanti Emak lihat mampus lo di kandang Steven."

Shandy langsung mematikan kerannya. Steven itu ayam kesayangan Emak, tentu saja dia tidak mau tidur di kandang ayam. Shandy duduk di sebelah Nindy, mencomot satu biskuit kesukaannya dan memandang langit siang itu cukup lama. Cerah berawan.

"Bang."

"Hmm."

"Kangen Banghan."

"Sakit lo?!" Dengan segera Shandy menempelkan telapak tangannya di dahi Nindy.

"Ih enggak!" Nindy menepis tangan Shandy. "Bosen aja gitu Banglang mulu yang sering main ke rumah. Kangen sama kagetnya Banghan," katanya.

"Wah! Ternyata cewe di dunia ini sama aja. Kemaren lo jalan berdua sama Gilang, terus sekarang bosen? Ckckckck. Kasihan gue sama Gilang."

"Ih gue sama Banglang mah gak ada hubungan apa-apa! Selera gue oppa-oppa Korea."

"Iya, Korea Utara."

"Ih Abangggg!"

Rumah benar-benar definisi menyebalkan bagi Nindy karena kehadiran abangnya yang satu ini. Tapi ketika ia jauh dari rumah, justru kejahilan abangnya ini yang selalu ia rindukan.

Shandy di mata Nindy memang bukan kakak yang baik, tapi yang terbaik. Shandy selalu bisa membuat suasana hati Nindy membaik hanya dengan satu tingkahnya. Rumah pun akan sangat ramai jika ia mulai berulah.

Walau menyebalkan, Nindy tahu bahwa Shandy itu manusia yang baik dan jauh dari maksiat. Dia selalu menyisipkan pujian saat menjelekkan Shandy kepada teman-temannya.

Entahlah apa yang akan Nindy rasakan jika ia tahu perbuatan Shandy. Belum lagi Bapak dan semua perbuatannya. Mungkin Nindy akan kesulitan mempercayai pria manapun dan melajang seumur hidupnya.

Tapi mau bagaimana lagi? Sepertinya ia harus mempersiapkan diri mulai sekarang.

"Ayok ke tempat Banghan!" ajak Nindy

SONBU || Zweitson UN1TY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang