Pewaris

724 83 13
                                    

1

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

1.

Entah harus dengan cara bagaimana Jaehyun memulai ceritanya. Yang jelas, kepalanya mau pecah. Persoalan ini teramat runyam sampai senyum pun tak mau terbit bahkan walau ia memaksa.

Jadi, ia tak berusaha untuk tersenyum. Sebagai ganti, tatapan kalut Jaehyun layangkan bergantian ke wajah ayah dan ibunya.

Keteguhan dingin yang menyambutnya memaksa ia mengesah panjang.

Sepanjang 28 tahun hidup di dunia, Jeong Jaehyun selalu berusaha menjadi putra yang berbakti. Apa pun pinta orang tuanya, ia penuhi. Apa pun ekspektasi yang diberikan, ia cukupi.

"Andai anakku seperti Jaehyun," desah orang-orang di luar sana, melihat pencapaian dan tingkah lakunya yang luput dari cela.

Namun mulai hari ini Jaehyun resmi berhenti menjadi sosok putra ideal itu. Dia tidak lagi bisa terus mengangguk dan menggumamkan "iya". Tidak untuk yang satu ini.

Sembari jemarinya melonggarkan kerah kemeja, pria itu berdeham. Alisnya bersatu menahan rasa tidak nyaman. Gerah, tercekik. Rasanya ingin berteriak saja agar lega tetapi nuraninya masih menganut banyak penghormatan bagi sepasang insan yang telah membesarkannya.

"Bukannya aku meragukan penilaian Bunda, tapi apa Bunda yakin sudah tahu semua faktanya?"

Saat itu, Jaehyun harap, lembutnya nada ia bicara akan mampu melunakkan hati. Namun harapan itu mesti tenggelam hampir bersamaan dengan saat ia muncul ke permukaan lantaran tidak tampaknya ragu pada paras yang ia tatap.

"Kami sudah mengumpulkan cukup informasi. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."

"Jadi Bunda juga tahu 'kan, kalau keluarga itu sudah bangkrut sejak sepuluh tahun lalu?"

"Ya."

"Dan menurut Bunda perjodohan ini masih bisa diteruskan." Tidak mampu menahan diri lagi, ia tertawa sinis. "Luar biasa. Kupikir Bunda hanya akan memilih yang terbaik."

Tutur kata yang halus tiba-tiba berubah tajam mengejutkan sang ibunda.

Tak satu kali pun sang putra pernah bicara seperti itu kepadanya. Tidak satu kali pun. Maka wajar wanita itu membatu, kehilangan kata-kata. Mungkin sedikit terguncang.

Dan Jaehyun langsung menyesali bagaimana ia membiarkan dirinya dihasut amarah. Lehernya menjadi panas seolah dikelilingi api akibat malu, sesal dan rasa bersalah. Hampir ia berlutut membisikkan beribu maafjika saja sesuatu dalam benaknya tidak memaksa ia tetap duduk tegak.

Jangan. Cukup dengan rasa bersalahnya. Kali ini, kau harus perjuangkan pendapatmu sampai mati.

Sementara itu dapat Jaehyun lihat tangan ayahnya merayap ke pangkuan sang istri, menggenggam jemari wanita itu. Mengusapnya, menenangkannya―dan diam-diam Jaehyun bersyukur ada Ayah di sana yang menguatkan Bunda.

Pandora's Legacy [ Jaeyu ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang