13.
"Dunia adalah arena pertarungan, jadi kau jangan sampai lengah, Jaehyunie. Jika kau bukan yang berdiri di puncak, maka kau akan berakhir diinjak-injak."
Demikian Kakek biasa berkata kepadaku ketika kecil. Tidak peduli entah itu saat belajar, saat berlatih, di waktu istirahat, di meja makan, sebelum aku tidur sekalipun―pesan-pesan yang sama terus dibisikkan sampai aku hapal kata demi kata, merasukiku bagai racun kronis yang perlahan namun pasti berhasil meyakinkanku bahwa segala sesuatu, pada hakikatnya, adalah kompetisi yang harus dimenangkan.
Aku tumbuh menjadi remaja ambisius yang terobsesi memuncaki segala hal. Semua berkat Kakek, yang tak pernah lalai mengingatkanku untuk jadi seorang penerus bermartabat. Aku adalah wajah klan Jeong di masa depan sehingga harus terampil, berprestasi, mencengangkan; sebab menjadi biasa-biasa saja bukanlah pilihan.
Terlalu muda usiaku saat menyadari ... bahwa untuk menjadi pemuncak, itu berarti harus siap menghadapi apa pun seorang diri.
Menjadi pemuncak juga berarti bersedia hidup dalam persaingan tanpa akhir. Para sepupu, mereka bahkan belum mewakili separuh dari rintangan yang mesti dihadapi; lantaran di luar sana menunggu lebih banyak persaingan lagi. Ini jadi semakin buruk karena tak sedikit klan yang menyimpan dengki terhadap kesuksesan keluargaku, hingga berniat menghancurkan Kakek dan seluruh keturunannya.
Meskipun demikian, mereka bukanlah ancaman yang paling berbahaya. Musuh terang-terangan begitu tidak lebih berbisa dari mereka yang pura-pura menyukai. Aku hapal betul soal itu karena selalu saja, bahkan di antara teman-temanku, selalu saja ada yang menyusup menjadi musuh dalam selimut―yang diam-diam menghunus belati ke jantungku kapan saja ada kesempatan.
Sejak lama aku hanya punya diriku saja. Teman? Saat itu, rasanya aku tak benar-benar tahu apa itu. Terlalu merepotkan memilih siapa yang pantas dipercaya dalam lautan topeng pemujaan ini.
Kupikir, barangkali teman adalah Kun-ge, yang sudah bersumpah setia kepadaku sejak kami masih bocah. Mungkin juga Winwin, Rosé, Mark dan Johnny yang aku kenal lewat summer camp semasa sekolah. Atau mungkin adalah Xiaojun, yang akhirnya dekat denganku melalui Winwin dan Rosé sebagai perantara.
Akan tetapi ....
Entah mengapa, ketika menatap matamu hari itu, aku tahu dengan pasti bahwa aku ingin memilikimu di sisiku untuk waktu yang lama.
Aku ingin bersamamu. Masih ingin bermain basket denganmu tak peduli meski kau payah. Ingin kejar-kejaran di lapangan sekolah hingga napas kita memburu. Sebab hari itu sangat menyenangkan. Saat bersamamu, hatiku merasa bebas.
Nakamoto Yuta.
Kau tahu? Aku tidak pernah bisa melupakan perasaan baru yang kau buat mekar di hatiku hari itu. Aku tidak bisa melupakan tawa riang dan juga matamu yang indah. Kau satu-satunya yang tidak bersikap berbeda saat mendengar nama Jeong Jaehyun, dan satu-satunya yang bersedia berteman denganku meski aku tidak sedang memamerkan keagungan di pundakku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pandora's Legacy [ Jaeyu ]
FanfictionKalau jadi Pandora dan tahu itu hanya bawa petaka, apa kau akan tetap buka kotaknya? . Alpha pewaris takhta klan Jeong sedang terjepit dalam posisi sulit. Entah selanjutnya serangan datang dari mana, ia pun tak tahu. Satu-satunya jalan keluar adalah...