7.
"Kamu di sini lagi."
Yuta menengok sekilas pada remaja 15 tahun itu, hendak memastikan siapa yang bicara meski dari suaranya saja sudah terbayang raut wajahnya.
Yuta hanya menatap tanpa minat sebelum buang muka. Ia gigit rotinya besar-besar tanpa mengacuhkan sang ketua kelas nan menjengukkan kepala lewat jendela perpustakaan.
Didengarnya helaan napas anak itu, kemudian suara langkah. Yuta melirik jendela dan dia sudah tak ada di sana.
... Baguslah.
Karena akan menyusahkan kalau orang itu berkeras mengajaknya bicara. Semoga saja akhirnya dia menyerah mencoba mengakrabkan diri.
Bukannya apa-apa. Bukan pula Yuta tidak tahu ketua kelasnya bermaksud baik. Beta satu itu jelas dilanda khawatir karena seorang teman sekelasnya selalu memisahkan diri dari yang lain.
Ketua Kelas memang bukan orang jahat ... tetapi Yuta lebih takut menghadapi orang-orang baik hati seperti itu.
Lamunannya terputus saat tiba-tiba jadi sulit bernapas. Ada dorongan kuat dari dalam diri untuk mengeluarkan kembali apa yang ia telan―tepatnya sesuatu yang sedang tersangkut di kerongkongannya saat itu.
Ah.
Baru sekarang ia menyesal telah menggigit roti besar-besar dan menelannya begitu saja tanpa mengunyah dengan benar.
Yuta terbatuk. Napasnya tercekik. Potongan roti itu masih tak mau lewat juga.
Matanya sudah mulai berair ketika ia merasakan tepukan seseorang di bahunya. Lagi dan lagi, tepukan itu diberikan dalam tempo teratur.
"Batukkan saja Tidak perlu ditahan. Lebih baik ketahuan makan dan dimarahi petugas daripada mati di sini, 'kan?"
―Suara si ketua kelas.
'Kau tidak mengerti,' Yuta hanya bisa menjawab dalam hati. Segumpal air mata sudah berkumpul di pelupuk matanya ketika akhirnya ia berhenti tersedak. Segera, ia raup udara dengan rakus.
Ketua kelas pun duduk di sebelahnya seraya menyodorkan sebotol air mineral dalam kemasan.
"Ini, minumlah. Masih tersegel, kok."
Mata basah Yuta menatap botol itu dan wajah di sampingnya bergantian. Awalnya ragu, namun ekspresi serius remaja itu menghancurkan kebimbangannya.
"Terima kasih ... Kim Doyoung," katanya pelan, memegang botol dengan kedua tangan.
Ketua kelasnya kemudian tersenyum tipis.
"Minumannya untukmu," Doyoung mulai mengupas bungkusan plastik pada roti lapis yang ia bawa―menu makan siangnya hari ini. "Sebagai gantinya, jangan lupa traktir aku kapan-kapan. Oke, Nakamoto Yuta?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pandora's Legacy [ Jaeyu ]
FanfictionKalau jadi Pandora dan tahu itu hanya bawa petaka, apa kau akan tetap buka kotaknya? . Alpha pewaris takhta klan Jeong sedang terjepit dalam posisi sulit. Entah selanjutnya serangan datang dari mana, ia pun tak tahu. Satu-satunya jalan keluar adalah...