8. Reason

9.1K 1.3K 21
                                    

Haechan jelas memiliki alasan kenapa ia berani bersikap kasar pada Renjun, orang yang bahkan baru ia kenal kurang dari sepuluh hari. Tapi sudah menumbuhkan kebencian padanya, hanya lewat nama lengkap pemuda China itu.

Huang Renjun.

Sudah Haechan katakan, bahwa ia benar-benar merasa tak asing akan nama itu. Hingga setiap harinya, Haechan selalu menggali ingatannya. Sampai kemarin sore, saat ia sedang dipaksa ibunya untuk membersihkan lemari yang sudah lama tak dipakai. Ibunya hendak mengirimkan itu ke panti asuhan. Saat tangannya mengeluarkan semua barang lama yang berada dilemari itu, dengan mulut yang tak henti menggerutu karena begitu kotornya lemari yang ukurannya lebih tinggi dari tubuhnya itu.

Sebuah amplop khas undangan resmi jatuh mengenai kepalanya, Haechan mengambil benda itu. Undangan itu begitu elegan dengan warna hitam dan silver, Haechan membukanya. Dan ia tertegun membaca nama orang yang tertera sebagai pemilik acara itu.

Saat itulah ia ingat, dan paham kenapa nama Renjun begitu mengganggu pikirannya.

"Bisakah tidak usah ikut ikutan menjadi bagian dari mafia itu? Mereka itu kriminal!" Jerit Haechan, ia sudah berkali-kali memperingatkan orangtuanya agar tak mendekati keluarga mafia. Ia tak suka.

Wanita yang menjadi ibu pemuda tan itu meraih jemari sang anak. "Haechan, kami hanya ikut dalam bisnisnya. Bukan terlibat dalam kegiatan dunia gelap mereka." Jelasnya mencoba pengertian.

"Lalu kenapa kalian diundang ke acara mereka?" Haechan menunjuk amplop hitam berhias silver yang kini tergeletak di meja.

"Itu hanya undangan pertunangan anak sulung mereka." Kini sang ayah bersuara setelah dari tadi diam mendengar sang anak yang kembali ikut mengomentari urusannya. 

"Tetap saja, mereka itu keluarga mafia. Mereka hidup dalam dunia gelap, tak ada yang menjamin bahwa mereka tak memiliki musuh. Musuh mereka bisa mengincar dimana saja, bagaimana kalau kalian terseret dalam itu." Haechan mengatakan ketakutannya.

"Tidak akan, Haechan. Acara ini akan dijaga ketat oleh pengawal-pengawal mereka."

"Bisa saja ada yang berkhianat." Haechan menatap sang ayah yang barusan berbicara.

"Atau kau mau ikut ke acara itu? Kudengar anak bungsu mereka seumuran denganmu. Siapa namanya? Aku lupa." Wanita berbaju navy itu mengerutkan dahinya, mencoba mengingat.

"Renjun. Dia adik salah satu kawan lamaku, Xiaojun." Suara orang yang baru memasuki rumah itu terdengar, membuat ketiga orang yang duduk di sofa menoleh.

"Kak! Lihat, ayah dan ibu akan pergi kesana." Haechan mengadu pada kekasihnya, yang sudah akan dipastikan segera jadi tunangannya juga. Mark.

"Mau kencan? Kita pergi makan hari ini, malamnya kita bisa mengunjungi pantai." Mark berdiri di belakang sofa yang Haechan duduki, mengusap lembut kepala Haechan.

Haechan mendongak untuk memberi tatapan tajam. "Menyebalkan! Aku tidak mau ke pantai dan mencari mati." Sungguh, salju bahkan masih sering turun. Mana mungkin ia mau pergi kepantai dan menahan dinginnya angin musim dingin. Cari mati namanya.

Dan juga, ia yakin. Ajakan Mark barusan hanya pengalihan. Mark itu terlalu dekat dengan kedua orangtuanya, hingga sering berada di pihak mereka yang sering sekali berbeda pendapat dengan Haechan.

"Jangan pergi! Aku sudah katakan, aku tidak suka kalian bergabung dengan kelompok mereka."  Haechan kembali kepada orangtuanya. Membujuk mereka agar tak datang ke acara itu.

a lot like love ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang