Tangannya terkepal erat, matanya memejam saat tubuhnya kembali merasakan lemparan dari barang-barang yang ada di sekitarnya. Diantaranya ia merasakan jelas botol air yang menghantam tengkuknya, itu benar-benar sakit. Botol air itu tidaklah kecil, juga memang masih berisi air di dalamnya. Ia tak tau kenapa mereka mau mengorbankan barang mereka hanya untuk dilemparkan padanya. Ah, Sebenarnya ia tau alasannya, mereka membencinya. Sangat.
"Selesaikan kekacauan ini, baru setelah itu kau boleh pulang." Seorang pemuda tinggi menghampirinya yang masih duduk, dan sebelum keluar mengikuti teman-temannya pemuda itu menyempatkan diri menyiramkan jus jeruk yang tadi dipegang olehnya.
Pemuda mungil yang menjadi korban, berjengit merasakan dinginnya cairan itu saat mengguyur tubuhnya. Ia menatap sang pelaku dengan tajam, jelas ia tak terima diperlakukan seperti itu.
"Percuma memberiku tatapan seperti itu, Renjun. Aku tak takut. Lagi pula sadarlah, semua orang membencimu. Tak akan ada yang membelamu apapun yang terjadi, jadi terima saja jika kau memang masih ingin bersekolah disini." Pemuda itu pergi setelah menyempatkan diri menendang lutut Renjun keras.
Renjun meringis sambil memegang lututnya, setelah itu ia segera bangkit dan mulai membersihkan kelas yang benar-benar berantakan. Mereka benar-benar sengaja berbuat semau mereka di ruangan itu, menjadikan Renjun harus menguras habis sisa tenaganya setelah seharian ini ia mengalami berbagai tindak kekerasan dari teman sekolahnya itu. Sebenarnya mereka bukan temannya, mereka tak ada yang sudi berteman dengannya. Setidaknya sampai kejadian awal tahun baru dan mereka mulai melakukan hal-hal semau mereka. Seperti menyiksa dan mengucilkannya.
Awal-awalnya Renjun menangis, ia tidak terbiasa diperlakukan seperti itu. Ia selalu dilimpahi kasih sayang oleh kedua orangtuanya, kakaknya, Sahabatnya, dan dengan tiba-tiba tempatnya menuntut ilmu berubah jadi neraka dunia baginya. Orang-orang di dalamnya tak berperasaan. Menyalahkan Renjun akan hal yang tak ada sangkut pautnya dengan sang pemuda mungil. Kini Renjun hanya bisa diam saat diperlakukan seperti itu, melawan pun percuma.
Selesai dengan urusan kelasnya, Renjun menuju kamar mandi untuk mencuci wajahnya sebelum pulang. Ia juga mengeluarkan jaket dari dalam tas nya, memakainya untuk sedikitnya menutupi seragamnya yang kotor. Sebelum-sebelumnya Renjun selalu menyimpan handuk atau seragam olahraga di lokernya, tapi beberapa bulan terakhir Renjun tak bisa menggunakan lokernya lagi. Tempat itu selalu jadi sasaran dari orang-orang yang membencinya juga, entah itu merusak barang-barangnya atau membuangnya seolah benda-benda itu tak layak ada.
Renjun pulang dengan tubuh lemas, sungguh ia ingin segera sampai rumah dan tidur. Mengenai rumah, sudah lama Renjun tak menginjakkan kakinya di rumah milik kedua orangtuanya. Bahkan ia tak mau datang kesana setelah kematian kedua orangtuanya, rasanya dengan datang kesana perasaan sesak akan kembali melanda hatinya. Ia masih tak percaya bahwa ia ditinggalkan oleh ayah dan ibu yang begitu mengasihinya, meskipun kematian kedua orangtuanya tak serta merta membuatnya jatuh miskin. Tetap saja, Renjun kehilangan. Bahkan kakak laki-lakinya kini terbaring di rumah sakit, dokter menyatakan kakaknya itu koma. Renjun sendirian. Dan dengan itu, Renjun memilih menempati apartement milik sang kakak dari pada tinggal di rumahnya. Setidaknya tidak banyak kenangan dengan keluarga di tempat itu, jadi Renjun tidak perlu merasakan sakit setiap melirik setiap sudut ruangan.
Renjun memasuki apartementnya dengan lesu, ia disambut dua orang yang menjadi sandarannya setelah keluarganya tak ada. Dua orang inilah yang begitu mengerti dirinya, Renjun masih bersyukur dengan kehadiran dua sosok ini setelah segala kekacauan di hidupnya. Dua pemuda itu adalah sahabatnya sejak kecil, dan bahkan orangtua mereka saling berteman. Itulah kenapa diantara ketiganya, ada ikatan erat yang membuat mereka selalu memperhatikan satu sama lain.
"Renjun! Apalagi ini? Kenapa bisa kotor begini? Kau tidak menceburkan diri pada kolam jeruk bukan?" Beomgyu menjerit begitu melihat seragam Renjun yang kotor, juga bau jeruk yang tercium dari sana.
Renjun menghela napas. "Jangan berlebihan Beomgyu." Tapi ia tau, Beomgyu khawatir. Terlihat dari bagaimana pemuda itu menatapnya. Soobin yang berdiri di sampingnya tak jauh beda.
"Mandilah, setelah itu kita makan. Aku dan Beomgyu membeli makanan sebelum kemari." Hanya saja Soobin lebih sering menjadi penenang bagi Beomgyu. Terkadang Soobin sering menyelamatkannya dari omelan Beomgyu. Sungguh, Beomgyu itu begitu cerewet. Tapi Renjun menyukai segala bentuk perhatian yang diberikan oleh Beomgyu dan Soobin padanya. Meskipun itu omelan Beomgyu dan perintah khas dominan milik Soobin.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Renjun, jujur padaku sebenarnya apa yang terjadi? Kau selalu pulang dengan keadaan kacau seperti tadi. Katakan, apa mereka merundungmu lagi? Menguncimu lagi? Mereka kembali memukulmu?" Tanya Beomgyu bertubi-tubi, setelah Renjun duduk di hadapannya.
"Tidak, Beomgyu." Jawab Renjun pendek, ia mulai menyuapkan makanan yang tersaji di depannya.
Dulu, saat pertama kali Renjun menerima perlakuan buruk dari teman sekolahnya. Renjun menangis, bahkan ia sempat tak mau pergi ke sekolah. Tentu saja, sekujur tubuhnya sakit mendapat pukulan. Juga tak ada yang mau berteman dengannya lagi, itu terasa menyedihkan bagi Renjun. Dan Beomgyu serta Soobin yang melihat kejadian itu, tentu ikut marah pada orang-orang yang mengganggu Renjun. Keduanya melaporkan hal itu pada orangtua mereka, dan menuntut pihak sekolah Renjun untuk memberi ganjaran pada pelaku pembullyan itu. Setelahnya Renjun dibujuk untuk kembali bersekolah, dan akhirnya pemuda mungil itu mau. Memang beberapa hari awal semuanya baik-baik saja, mereka hanya menjauhi Renjun. Tapi semakin kemari mereka kembali berani berlaku buruk padanya, dan Renjun tak mau memberitau Beomgyu dan Soobin mengenai hal itu. Ia tak mau membuat kedua orang itu harus repot mengurusi kehidupannya lagi, Renjun cukup tau diri. Dengan maunya Soobin dan Beomgyu tetap berteman dengannya pun ia bersyukur.
"Kau berbohong." Beomgyu memicingkan matanya, helaan napas keluar dari mulutnya. "Aku akan meminta Papaku untuk memindahkanmu agar sekolah di tempatku dan Soobin."
Renjun menghentikan kegiatan mengunyahnya, ia mendongak guna melihat Beomgyu dan Soobin bergantian. "Apa-apaan, aku tidak mau." Renjun menolak.
Soobin tau gelagat Renjun yang hendak memprotes lagi. "Renjun, Beomgyu benar. Akan lebih bagus kalau kau dan aku berada di sekolah yang sama. Kami bisa mengawasimu dengan baik."
"Aku bukan anak berusia tiga tahun yang harus diawasi." Kesal Renjun.
"Lagi pula sebentar lagi kita di tingkat tiga, akan sulit untuk pindah sekolah." Lanjut Renjun, ia bukannya tak mau satu lingkungan dengan sahabatnya. Hanya saja, ia pikir dengan pindah sekolah itu terasa merepotkan.
"Itu dia, tingkat tiga kau harus fokus untuk ujian. Aku tidak mau melihatmu kembali pulang dengan keadaan kacau seperti tadi, setidaknya dengan aku dan Soobin yang ada di sekitarmu. Kami akan berusaha untuk melindungimu." Cukup Beomgyu merasa buruk menjadi sahabat Renjun, dengan hanya mengetahui bahwa Renjun jadi sasaran bully. Ia ingin menjauhkan Renjun dari itu, ia ingin Renjun menjalani hidup yang lebih baik.