23. Fed up

7.7K 1.3K 80
                                    

Tak ada hal special yang Renjun lakukan saat mengunjungi kakaknya itu, ia hanya mendoakan agar kakaknya lekas bangun. Sisanya Renjun pakai untuk melamun, dan tanpa sadar menceritakan bagaimana senangnya ia berteman dengan Jeno dan Jaemin.

"Jaemin itu baik sejak awal, kalau Jeno dulu bahkan tak sudi untuk senyum padaku. Tapi dua-duanya sering membantuku." Kepala Renjun ia baringkan didekat tubuh Xiaojun, tangannya menggambar pola abstrak di kasur itu.

"Kau tidak mau tau bagaimana mereka? Setidaknya beritau aku bagaimana pandanganmu tentang mereka." Jari mungil itu, mengetuk-ngetuk punggung tangan Xiaojun dengan pelan.

Suara pintu yang terbuka membuat Renjun menegakkan duduknya, dan menoleh. Ia menemukan dokter Park disana. Renjun tersenyum canggung, lama ia tak menemui dokter yang dipercayai keluarganya itu.

"Renjun, kau kemari? Apa dari tadi?" Dokter itu berbasa-basi, sebelum mengecek kondisi kakaknya. Lalu apa yang Renjun hindari dari dokter Park kini ia dengar.

"Kau lama tak menemuiku, kau baik-baik saja kan?" Pria itu menatap lekat pemuda yang masih mengenakan seragam itu.

Renjun mencoba menjawab itu dengan senyumnya. "Aku baik-baik saja, sekarang aku tidak bersekolah di tempat itu lagi." Dulu, saat Renjun sering mendapat perundungan di sekolah lamanya. Ia sering menceritakannya pada dokter Park, walaupun pria itu bukan seorang psikolog. Tapi untuk apa yang ia alami sekarang, Renjun memilih tak membuka mulut.

"Syukurlah." Dokter itu agak lega mendengar hal itu. "Aku juga memiliki adik yang bersekolah di tempat yang sama denganmu. Lain kali aku kenalkan, mau?"

Renjun mengangguk, tak ada salahnya menambah teman disekolah. Bukankah itu justru semakin baik, ia tak akan berpikir semua orang membencinya.

Haechan sudah lama muak melihat Renjun yang masih berkeliaran di sekolah, kenapa anak itu tak memutuskan untuk keluar saja dari sekolah ini? Haechan benar-benar benci melihat Renjun, melihatnya hanya mengingatkan pada bagaimana takutnya dulu ia me...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Haechan sudah lama muak melihat Renjun yang masih berkeliaran di sekolah, kenapa anak itu tak memutuskan untuk keluar saja dari sekolah ini? Haechan benar-benar benci melihat Renjun, melihatnya hanya mengingatkan pada bagaimana takutnya dulu ia melihat keadaan orangtuanya yang nyaris tak selamat.

Tapi setiap harinya, Haechan kesulitan untuk mengganggu hidup Renjun. Karena selalu ada Beomgyu dan Soobin yang menemani anak itu. Mengenai Beomgyu, dulu Haechan cukup akrab dengannya.Tapi setelah kejadian Haechan yang memukul Renjun di depan mata Beomgyu, hubungan keduanya mendingin. Bahkan saat di kelas pun tak jarang keduanya saling emosi hanya karena berbeda pendapat karena hal sepele.

Pagi ini, Haechan tersenyum lebar melihat Renjun yang berjalan sendirian tanpa kedua sahabatnya. Maka Haechan berjalan cepat menghampiri pemuda mungil itu, menarik kasar tangan Renjun. Dan membawanya menuju rooftop. Renjun sempat mencoba melepaskan cekalan tangan Haechan di tangannya, tapi pemuda tan itu justru mengeratkan cekalan itu. Ringisan kesakitan meluncur dari mulut Renjun.

"Diamlah." Bentak Haechan, ia menyeret Renjun hingga atas. Ia mendorong tubuh Renjun menuju pinggiran rooftop, dada Renjun menghantam tembok itu keras. Renjun mengerang, dan menangis ketakutan begitu melihat lantai bawah. Kepalanya terjulur melihat bagaimana jarak yang ada antara dirinya dengan tembok di bawah sana. Tubuhnya masih aman,karena Haechan mencekal tangannya dan menekan punggungnya. Jika Haechan mendorong tubuhnya dengan gerakan kecil pun Renjun bisa jatuh tersungkur ke bawah sana.

"Haechan, kumohon jangan seperti ini." Renjun menangis ketakutan, membayangkan bagaimana tubuhnya melayang dan berakhir dengan hancurnya tulang-tulang jika ia terjatuh ke bawah sana. Renjun tak ingin mati.

"Aku sudah muak melihatmu masih hidup, dan baik-baik saja. Tidakkah seharusnya kau menebus apa yang pernah orangtuaku alami karena keluargamu itu?" Mata Haechan melirik kebawah sana. "Dengar, jika kau jatuh kesana kau tidak akan mati." Haechan mengabaikan isak tangis milik Renjun.

"Lagi pula, aku tak begitu menginginkan kematianmu. Aku hanya ingin kau merasakan apa yang pantas kau terima."

"Bagaimana jika setelah kau meluncur ke bawah sana, kakimu dinyatakan lumpuh?" Haechan ingat bagaimana sedihnya ibunya saat dokter mengatakan kemungkinan besar ibunya tidak bisa berjalan. "Aku ingin mendorongmu kesana, kau tak perlu takut melakukannya sendirian. Aku akan membantumu agar lebih mudah turun ke bawah sana."

Renjun menggeleng cepat. "Tidak, Haechan." Renjun mencoba berbicara dengan benar, walau tangisannya selalu mendominasi. Ia takut luar biasa.
"Kumohon." Renjun bahkan tak tau apa yang memangnya terjadi pada orangtua pemuda tan itu, hingga Haechan begitu marah padanya.

"Dan kau bisa dihukum karena perbuatanmu, jika kau benar melakukan apa yang kau inginkan." Suara milik Jeno membuat Haechan dengan reflek melepas cekalannya pada Renjun. Menoleh pada pemuda yang sejak lama bersahabat dengan Haechan sendiri, bahkan ia sepupu kekasihnya.

"Kau ingin mencelakainya?" Jeno menunjuk Renjun yang kini terduduk dengan tangisan yang masih terdengar. Jeno melangkah mendekati Haechan.

Haechan bergetar melihat Jeno yang melangkah dengan perlahan menuju ke arahnya, Haechan tau bahwa Jeno tengah marah. Ia bahkan sempat melihat Jeno yang menggertakan gigi saat melihat kondisi Renjun.

Kenapa sekarang Jeno pun mulai membela Renjun? Tak cukupkah Jaemin yang mulai menjauhinya karena tau kelakuannya pada Renjun? Haechan tak bisa melarikan diri disaat Jeno sudah di depannya, bahkan Jeno mulai mencengkram rahang Haechan dengan keras.

"Jeno!" Jerit Haechan saat merasakan sakit di area wajahnya itu.

"Apa? Ah, kau bukan melakukan ini pada Renjun. Tapi seperti ini bukan?!" Jeno ganti meraih tangan Haechan untuk ia cekal dengan erat, hingga Haechan kembali berteriak kesakitan.

Tak cukup disana, Jeno mendorong tubuh Haechan kesisi tembok persis tempat Renjun tadi. "Kau juga melakukan ini padanya." Jeno menahan punggung Haechan.

"Kau juga ingin kudorong ke bawah sana? Bukankah kau bilang juga dengan jatuh kesana tak akan membuatmu kehilangan nyawa?!" Jeno membuat gerakan seolah hendak menjatuhkan Haechan ke bawah sana.

Tak lama, terdengar seruan Jaemin pada Renjun. Pemuda Na itu kaget melihat Renjun yang menangis terduduk, sementara ia melihat Jeno masih mengurusi Haechan.

Haechan menjerit keras. "Tidak! Jeno, jangan gila." Haechan memejamkan matanya, tak mau menatap kebawah sana.

"Kau bahkan lebih gila, membiarkannya menangis ketakutan dan memohon. Sementara kau mengabaikan itu?" Jeno melirik Jaemin yang sudah membantu Renjun untuk beranjak dari sana.

"Maka terima dan rasakan apa yang kau perbuat barusan." Jeno semakin mendorong tubuh Haechan.

"Jeno, kumohon." Kini Haechan memohon, ia mulai ketakutan.

"Kau juga mengabaikan permohonan Renjun tadi." Jawab Jeno dingin.

"Jeno, kau ingin aku adukan pada kak Mark tentang kelakuanmu ini?"

"Aku tak takut, kau yang memulai. Haechan." Setelah mengatakan itu, Jeno menarik tubuh Haechan menjauh dari sisi rooftop. Cekalan tangannya belum ia lepas.

"Jangan kau kira juga, aku akan memihakmu hanya karena kita berteman sejak lama." Jeno menyentak kasar tangan Haechan. "Aku hanya membalas apa yang kau perbuat pada Renjun."

Jeno segera menyusul Jaemin yang sudah membawa Renjun pergi dari tempat ini.

a lot like love ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang