24. Not just a guess

7.4K 1.2K 173
                                    


Jeno mengerutkan dahinya begitu sampai di sekolah, ia melihat beberapa siswa menengadah ke rooftop. Agaknya orang yang menjadi perhatian tak sadar telah meninggikan suaranya, hingga menarik perhatian. Jeno pun ikut melihat hal itu, untuk mengetahui apa yang mereka lihat. Dan meskipun penglihatan Jeno tak begitu baik, tapi ia bisa tau siapa dua sosok yang berada di tempat yang begitu membahayakan itu. Bangunan sekolahnya hanya terdiri dari dua lantai, mudah baginya mengenali bahwa itu adalah Renjun dan Haechan. Mendengar suara Haechan yang seakan mengancam Renjun, Jeno segera berlari untuk menemui dua orang itu.

Sementara Jaemin yang tengah berbicara dengan Jisung di lorong kelas, melihat Jeno yang berlari menuju tangga keatas dengan masih memakai jaketnya. Jaemin heran melihat terburunya Jeno menaiki tangga, bahkan sampai melewati dua anak tangga sekaligus. Karena penasaran Jaemin memutuskan untuk mengikutinya, dan ia terkejut begitu sampai di rooftop ia melihat Renjun yang terduduk memegangi lengannya. Dengan wajahnya yang terlihat kacau dengan air mata yang mengalir.

Jaemin tidak dulu mengurusi Haechan, yang kemungkinan besar adalah penyebab tangisan Renjun muncul. Dilihat dari marahnya Jeno saat ini pada pemuda tan itu, sepertinya memang Haechan telah melakukan hal buruk. Jaemin menghampiri Renjun, membantu pemuda itu untuk berdiri. Dan membawanya menuju untuk turun, Jaemin hendak membawanya menuju ruang kesehatan tapi Renjun menolak.

"Tidak, aku akan ke kelas." Ujar Renjun susah payah, ia masih lemas setelah menghadapi hal menakutkan seperti tadi. Rasa sesak karena ulah Haechan barusan masih ada, Renjun masih ingin menangis. Tapi ia tak mau membuat Jaemin kerepotan mengurusinya yang menangisi hidup. Sudah cukup ia membuat khawatir Jaemin dengan keadaannya tadi, maka Renjun memaksa tangisnya agar berhenti. Itu juga alasan lain Renjun merasa sesak saat ini, menahan tangis yang siap tumpah kapan saja.

Jaemin meremas bahu Renjun yang tengah ia rangkul. "Kau pucat seperti ini, lebih baik pulang atau paling tidak ke ruang kesehatan. Ya?" Ia jelas melihat ketakutan di mata Renjun, anak itu masih syok dan kenapa dengan keras kepalanya ingin mengikuti kelas.

"Tidak, Jaemin. Aku akan ke kelas." Renjun sudah melepas rangkulan Jaemin dibahunya, namun sepertinya itu bukan langkah yang tepat. Karena setelahnya Renjun nyaris jatuh terduduk, jika pinggangnya tak diraih Jaemin dengan cepat.

"Sudah kubilang, kau masih lemas seperti ini. Kita ke ruang kesehatan saja." Jaemin hendak membawa Renjun kesana, namun Renjun berontak minta dilepaskan.

Jeno yang baru datang, melihat perdebatan kecil antara Renjun dan Jaemin langsung bersuara. "Anak ini keras kepala, harusnya kau tak usah meminta persetujuannya. Jaemin." Jeno meraih pinggang Renjun untuk ia ambil alih dari Jaemin.

"Aku tak akan membiarkanmu pergi ke kelas." Ujar Jeno pada Renjun yang tak bisa melawan saat kini Jeno sudah menyeretnya menuju ruang kesehatan.

Sementara Jaemin mengikuti dari belakang, ia melihat bagaimana Renjun yang mengikuti ucapan Jeno tanpa bantahan. Harusnya memang Jeno yang menangani sifat keras kepala Renjun.

Jeno mendudukkan Renjun di salah satu ranjang di ruang kesehatan.

"Kalian bisa pergi, tak usah menungguiku." Renjun tak mau kedua orang itu sampai membolos jam pelajaran.

"Kau dengar? Sana pergi, Jaemin." Jeno menatap Jaemin yang mengerutkan dahinya, tak terima hanya dirinya yang diusir dari sana.

"Renjun bilang, 'kalian'. Berarti kau juga masuk hitungan, sialan." Jaemin mendelik.

Jeno memejamkan matanya sekejap, Jaemin ini selalu banyak alasa. "Aku tak akan meninggalkannya disini sendirian." Mana bisa ia pergi ke kelas dengan Renjun yang masih terlihat lemas.

"Aku juga, tak akan meninggalkan ruangan ini dengan kau hanya berdua dengan Renjun." Tegas Jaemin.

Suara sepatu yang beradu dengan lantai membuat kedua dominan itu menoleh, menemukan Renjun yang sudah turun dari ranjang. "Aku sudah bilang dari tadi akan ke kelas, kalian jadi tak usah bertengkar seperti barusan."

"Kembali ke tempat tidur itu, Renjun." Jeno menahan Renjun.

Jaemin tak mau membiarkan Renjun risih dengan perseteruannya dengan Jeno lagi, jadi ia akan mengalah lebih dulu. "Aku akan ke kelas, istirahatlah Renjun." Jaemin keluar dari ruang kesehatan dengan terpaksa.

Ia tak diam begitu saja, ia mengambil ponselnya dan mengetikkan pesan pada Jeno.

Pergi dari sana, kau dengar sendiri Renjun menyuruh kita pergi. Aku akan menitipkannya pada perawat yang bertugas.


Haechan tengah mencuci wajahnya, saat suara keran di sebelahnya menyala

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Haechan tengah mencuci wajahnya, saat suara keran di sebelahnya menyala. Haechan menoleh, Jaemin disana. Terlihat tak terganggu akan keberadaannya. Haechan merasakan perasaan tak enak dengan itu. Apalagi Jaemin yang menatapnya datar lewat cermin di depannya.

"Aku lupa sesuatu." Jaemin membuka suara, Haechan mengernyit bingung.

"Aku belum melakukan apapun padamu sejak kau menenggelamkan Renjun." Suara Jaemin terdengar dalam, Haechan bergidik akan itu.

Dan Haechan tak sadar bahwa watafel dibdepan Jaemin sudah penuh oleh air, jangan bilang Jaemin akan membalas dengan cara yang sama. Haechan tak mau itu. Jaemin sama halnya dengan Jeno, tak akan peduli dengan status Haechan sebagai temannya. Mereka hanya akan melakukan balas dendam sesuai keinginan mereka.

"Jaemin, kau tau sendiri aku memiliki alasan melakukan itu pada Renjun." Haechan berujar panik, saat Jaemin hendak mendekatkan tangannya pada Haechan.

"Apa? Tentang orangtuamu yang waktu itu terluka?" Jaemin tau cerita itu. "Tidak bisakah kau melupakannya? Bahkan ayah ibumu sudah sehat kembali."

"Jaemin, kenapa kau begitu bersikeras membela Renjun? Meskipun ayah ibuku selamat, itu tak menghapus kenyataan bahwa ia keluarga pembunuh. Mereka turunan mafia, komplotan orang yang senang menyakiti orang lewat cara kotor."

"Tak ada bukti, Haechan."

"Apa tak cukup kejadian saat orangtuaku nyaris tak selamat itu? Banyak orang yang mati di malam itu, dan itu karena mereka datang ke acara yang digelar keluarga Renjun. Musuh mafia bertebaran dimana-mana, semua orang jelas ingin melenyapkan keluarga mafia itu. Dan imbasnya pada semua orang di sekitar keluarga Huang itu. "

"Jadi, kau juga berhenti terus berada di dekatnya. Atau kau akan kena sialnya." Lanjut Haechan, ia mulai tenang melihat Jaemin menghentikan gelagatnya untuk menyakiti Haechan. "Jaemin percaya padaku."

"Kau tak dengar apa kata Beomgyu? Keluarga Renjun bukan keluarga mafia." Jaemin pernah mendapat ucapan itu dari Beomgyu.

"Beomgyu sahabat dekat Renjun, tentu saja ia akan melindungi identitas Renjun. Tidakkah kau berpikir sampai kesana, Jaemin?"

Mendengar itu membuat Jaemin mulai memikirkan ucapan Haechan, ia juga tidak begitu mengenal Renjun. Ia bahkan tak tau anggota keluarga Renjun, dan bagaimana mereka.

"Itu bukan hanya dugaanmu saja bukan?"

"Aku tak bohong, Renjun berasal dari keluarga mafia. Kau tau sendiri stigma orang tentang itu."






______________

Kalian gak suka angst ya?

Ini booknya lanjut fluffy aja?

a lot like love ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang