17. Painful sound

8.9K 1.4K 22
                                    

Renjun menatap pantulan dirinya di cermin, ia benar-benar mengerikan dengan mata sayu dan bekas kehitaman di bawah matanya. Tanda bahwa ia banyak menghabiskan waktu tidurnya dengan membuka mata, tanpa membiarkan matanya beristirahat. Sungguh, Renjun ingin tidur. Ia ingin istirahat sebentar saja dari dunia, tapi apa boleh buat jika saat matanya tertutup mimpi yang begitu Renjun takuti selalu mampir. Maka Renjun tak pernah membiarkan matanya kembali terpejam jika tengah malam ia terbangun karena mimpi buruk itu.

Itulah alasan ia melarang Beomgyu menginap, ia tak mau Beomgyu kembali mengetahui pola tidurnya yang kacau. Juga beberapa malam terakhir tidurnya semakin tak tentu, karena punggungnya yang masih terasa ngilu.

"Kau benar-benar jelek." Renjun berujar pada pantulan dirinya, yang kini terlihat mirip panda.

Setelahnya helaan napas keluar darinya, lalu memutuskan untuk segera pergi ke sekolah. Ia kali ini tak menolak ajakan Soobin untuk berangkat bersamanya.

Soobin sudah membukakan pintu penumpang depan, namun Renjun justru menutupnya. Ia ingin berbaring sebentar.

"Aku di belakang saja, ya? Aku ingin tidur sebelum sampai di sekolah." Renjun harap setidaknya sedikit waktunya untuk tidur tidak membuatnya bermimpi buruk. Apalagi matanya sekarang terasa begitu berat.

Raut Soobin khawatir, ia juga bisa melihat memang wajah Renjun terlihat lelah. "Kau tidak tidur semalam?" Soobin tak mempermasalahkan Renjun yang ingin duduk di belakang, sementara dirinya menyetir di depan. Toh sebentar lagi mereka akan menjemput Beomgyu, dan membuat kekasih Soobin itu duduk di sampingnya.

"Aku tidur, hanya saja tugasku cukup banyak jadi agak larut." Jawab Renjun lancar, seolah itu memang alasan sebenarnya.

Soobin kembali fokus menyetir setelah jawaban itu ia dapat. "Tidurlah, aku akan meminta Beomgyu tak merecokimu pagi ini."

"Terimakasih." Bisik Renjun diambang kesadarannya, setelah mencoba memejamkan matanya di dalam mobil.

Beomgyu yang sudah menunggu Soobin, langsung mengernyit begitu mobil Soobin berhenti didepan rumahnya. Ia melihat di kursi belakang, Renjun tertidur. "Benar tidur?" Tanya Beomgyu begitu melihat isyarat yang diberikan Soobin agar jangan mengganggu Renjun.

Soobin mengangguk, lalu membantu Beomgyu memasang seatbelt sementara Beomgyu memutar kepalanya untuk melihat Renjun.

"Dia sakit?" Beomgyu bertanya pelan, begitu Soobin kembali menjalankan mobilnya.

"Tidak, dia bilang tidurnya larut karena tugas." Jawab Soobin.

Beomgyu tak melanjutkan percakapan, takut suaranya mungkin mengganggu Renjun yang terlihat nyenyak? Seolah ini adalah tempat nyamannya untuk tidur. Sesekali Beomgyu melirik Renjun, memastikan apa sepulas itu Renjun tertidur. Hingga, saat kali kesekian Beomgyu menoleh. Renjun membuka matanya tiba-tiba, seolah terkejut akan suatu hal.

"Ada apa Renjun? Kau bermimpi buruk lagi?" Tanya Beomgyu.

Renjun tak langsung menjawab, ia mencoba menormalkan detak jantungnya yang berdetak cepat. Tangannya terkepal, lalu memejamkan matanya sebentar. "Tidak, hanya takut kalian tidak membangunkanku saat sampai nanti."

"Yang benar saja." Beomgyu berujar tak percaya.

Jeno baru sampai dikelasnya saat melihat Renjun yang tak lama kemudian memasuki kelas dengan lesu, wajahnya pias

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jeno baru sampai dikelasnya saat melihat Renjun yang tak lama kemudian memasuki kelas dengan lesu, wajahnya pias. Jeno mengerutkan dahinya, apa orang-orang sudah berulah di pagi hari? Renjun tak mungkin menampilkan wajah seperti itu jika tak ada penyebabnya.

Mulutnya ingin menanyakan hal itu pada Renjun, namun entah kenapa itu selalu tertahan. Maka Jeno hanya diam, namun matanya tak lepas melirik Renjun. Rasa khawatir itu terasa nyata. Jeno merutuk, kenapa ia tak bisa dengan mudah bertanya kondisi si mungil. Bahkan dari jam pelajaran pertama, hingga jam istirahat menjelang pun Jeno masih berpikir keras bagaimana ia harus menanyakan itu pada Renjun. Akhirnya ia memutuskan untuk tak bertanya setelah melihat Renjun yang menjatuhkan kepalanya di meja, mungkin anak itu hanya kelelahan. Jeno tak mau mengganggunya dengan menanyakan pertanyaan pada pemuda itu.

"Jeno, kau tidak keluar untuk makan siang?" Tanya salah satu temannya di kelas, kawannya terlihat hendak keluar.

"Tidak, aku akan disini." Jawab Jeno sambil menunjukkan bukunya, seolah ia hendak mengerjakan tugas.

Padahal tidak, ia tidak akan ikut keluar seperti yang Renjun lakukan. Jeno ingin memastikan tak ada yang mengganggu Renjun. Mata yang biasa menyorot tajam itu, kini menatap lama punggung Renjun. Seolah tengah menatap langsung wajah si pemilik nama Huang Renjun itu. Bersikap seakan jika Jeno mengalihkan tatapannya dari Renjun, Renjun akan kenapa-napa.

Tanpa sadar, Jeno melakukan itu bahkan hingga pelajaran terakhir di kelasnya. Matanya tak sepenuhnya memperhatikan guru dan pelajaran. Pikirannya terbagi dengan pertanyaan tentang apa yang terjadi dengan Renjun, hingga terlihat begitu lemas. Sakitkah?

Hingga akhirnya matanya mengerjap saat sadar bahwa Renjun sudah meninggalkan kelas, Jeno segera merapihkan buku-bukunya. Ia hendak menuju parkiran untuk mengeluarkan motornya, namun ingat bahwa ia tak membawa kendaraannya itu hari ini.

"Apa Jaemin sudah pulang?" Jeno mengeluarkan ponselnya, untuk menghubungi kawannya itu.

📞 "Kau mau menumpang'kan?" Suara menyebalkan itu langsung terdengar.

"Hmm, kau dimana?" Jeno bertanya, kakinya ia bawa mendekati gerbang keluar.

📞 "Aku baru keluar dari kelas, tapi aku harus keruang guru dulu. Kalau kau memang butuh tumpangan, kau tinggal menungguku."

"Kau berulah lagi?" Tanya Jeno kemudian.

📞 "Berulah apanya, justru aku mau melaporkan orang-orang yang sudah berulah."

Jeno mengangkat halisnya mendengar itu. "Terserah. Aku tunggu di dekat gerbang." Setelahnya Jeno memutus panggilan.

Ia bersandar di tembok dengan tangan yang dimasukkan kedalam saku celana, saat suara party popper mengagetkannya. Jeno menoleh, dan melihat disebrang jalanlah asal suara tersebut berasal, sepertinya pemilik rumah itu sedang mengadakan pesta besar. Terdengar dari suara ledakan dari alat penabur confetti itu yang bertubi-tubi. Jeno sebenarnya tidak terlalu terganggu dengan itu, ia sering mendengar suara macam itu saat penyewa di cafe nya merayakan ulangtahun. Namun, yang menjadi perhatian Jeno teralih adalah suara jeritan seseorang.

Jeno menengok ke sisi yang ia tau asal dari jeritan itu, dan menemukan pemuda mungil yang berjongkok sambil menutup telinganya. Jeno mengerutkan dahinya begitu merasa bahwa sosok itu begitu tak asing. Jeno memutuskan untuk mendekat, dan begitu melihat siapa sosok tersebut. Jeno kenal, pemuda yang meringkuk ketakutan itu Renjun.

"Renjun." Panggilnya. Percuma juga, Renjun begitu sibuk menutup telinganya.

Jeno kembali mendekat, ada yang salah disini. Renjun terlihat begitu ketakutan, apa karena suara itu? Atau karena hal lain. Jeno tak tau dan ia mencoba mengabaikan rasa penasarannya, ia ikut berjongkok di depan Renjun lalu mendekatkan telapak tangannya pada tangan Renjun yang menutup telinganya sendiri. Jeno membantu Renjun menghalau suara yang memasuki pendengaran pemuda mungil itu. Dari yang Jeno lakukan, dengan telapak tangannya yang menempel dengan tangan mungil Renjun. Ia bisa merasakan ketakutan Renjun, tangan itu bergetar. Isakan  terdengar jelas, dan lelehan air mata terlihat membasahi pipi gembil itu.

Renjun yang dari tadi merasakan seseorang menyentuh kedua tangannya, kini mencoba membuka matanya yang dari tadi terpejam. Ia menemukan Jeno di depannya, walaupun pandangannya memburam karena air mata. Tapi Renjun tau betul siapa di depannya.

Salah satu pelindungnya. Dan sekarang Renjun semakin menganggap Jeno sebagai penolongnya karena ada disaat ia tengah ketakutan.

"Hey, tenanglah." Suara Jeno mengalun lembut.

a lot like love ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang