10. Same situation

9.1K 1.4K 60
                                    

Semenjak hari dimana Haechan melabraknya, mengatakan bahwa Renjun itu anak pembunuh. Renjun kembali merasakan hal yang sama, kesakitan karena kekerasan fisik yang dilakukan orang-orang. Sebelumnya Renjun tak pernah menyangka bahwa penderitaannya itu akan didapat di lingkungan barunya, ia pikir hidupnya akan baik-baik saja setelah keluar dari sekolah itu. Ternyata memang percuma, disaat orang menganggap letak salahnya ada pada Renjun sendiri.

Beberapa hari belakangan memang ia hanya mendapat hinaan dan cemoohan yang mirip seperti yang ia dapat disekolah dulunya, tapi semakin kemari mereka mulai berani melayangkan pukulan atau mendorong tubuhnya saat bertemu dengan Renjun.

"Tidak ditemani sahabat-sahabat yang selalu menempelimu itu?" Renjun yakin yang dimaksud itu adalah Soobin dan Beomgyu, kedua kawannya itu memang seolah tak pernah membiarkan Renjun berkeliaran sendirian. Keduanya berusaha menemani Renjun kemanapun, takut hal buruk kembali menimpa Renjun.

Namun percuma, mereka selalu mencari kesempatan dimana Renjun tak ditemani kedua orang itu. Seperti saat ini, Renjun izin pergi ke toilet padahal pembelajaran tengah berlangsung. Renjun baru keluar dari bilik itu, begitu pertanyaan sinis ia dengar. Mendongak, dan menemukan seorang pemuda menatapnya tak suka. Renjun tak kenal, tapi sepertinya orang itu memang mengetahui Renjun.

"Kau benar-benar dari keluarga Huang?" Pemuda itu mendekati Renjun yang hanya menatapnya datar.

"Aku tak percaya ini, bisa bertemu denganmu. Kau bahkan terlihat baik-baik saja, masih hidup. Sementara kakakku mati karena hadir di acara yang diadakan keluargamu!!" Suara pemuda itu meninggi diakhir.

Renjun memejamkan matanya begitu merasakan jambakan keras di rambutnya, ia mencoba melepas itu. Namun pemuda di depannya lebih dulu mendorongnya ketembok, erangan kesakitan meluncur dari mulut Renjun. Punggungnya nyeri. Rambutnya tak lagi dalam genggaman orang itu, namun bahunya yang menjadi sasaran saat ini. Cengkraman kasar terasa, membuat Renjun menjerit.

"Sakit? Itu bahkan tak sebanding dengan nyawa orang-orang yang mati karena keluargamu." Sentaknya, lalu pergi meninggalkan Renjun yang kini menyentuh bahunya. Pemuda itu bertubuh tinggi, seperti Jaemin. Dan pantas cengkramannya terasa menyakitkan, tenaganya tak main-main, apalagi dengan penuh kemarahan seperti itu.

Menatap pantulan dirinya dicermin, lalu membetulkan rambutnya yang berantakan bekas jambakan tadi. Setelahnya Renjun kembali ke kelas, yang kini pun terasa mencekam karena orang-orang mulai terasa menakutkan bagi Renjun. Sekolah benar-benar kembali jadi mimpi buruknya.

Mimpi buruk lainnya bagi Renjun adalah jam pelajaran yang kosong. Setelah guru laki-laki yang barusan mengisi kelas, diketahui pelajaran selanjutnya gurunya tak masuk. Beberapa pemuda dan gadis mendekati meja Renjun, untuk sekedar menghinanya. Renjun diam, tak menanggapi. Jika ia bicara, akankah mereka mendengarnya? Jika ia menjelaskan, akankah mereka percaya? Rasanya tidak. Karena sungguh, Renjun pernah melakukan itu. Dan hasilnya percuma, Itu hanya membuatnya repot-repot mengeluarkan suara. Bahkan disekolah lama nya pun seperti itu, mereka tak menghiraukan segala kata yang Renjun lontarkan. Mereka sibuk menghina dan meledek Renjun.

Jeno melihat kejadian itu, ia tak sampai hati membiarkannya. Tapi ia tak mungkin tiba-tiba membela Renjun begitu saja, ia tak akrab dengan pemuda China itu. Jadi Jeno memilih pergi keluar, menghindari hal yang membuatnya iba dan dengan tak biasanya memunculkan rasa ingin menolong.

Ruang guru adalah tujuan Jeno saat ini, ia akan meminta tugas pada guru yang ada. Agar teman-teman sekelasnya mengerjakan tugas, dari pada merundung Renjun. Jeno tau bahwa guru yang seharusnya masuk tak memberi tugas, jadi ia memaksa guru mata pelajaran selanjutnya agar masuk mengisi kelasnya yang kosong. Akhirnya sang guru mau, Jeno pun disuruh pergi ke kelas duluan. Sementara sang guru mengambil keperluan mengajarnya dulu.

Dan saat kembali ke kelas, ia melihat orang-orang semakin ramai mengerumuni bangku Renjun. Jeno memukul papan tulis dengan tangannya, menyuruh semua orang membubarkan diri.

"Apa yang kalian lakukan? Kembali ke tempat duduk kalian, guru Kang akan masuk." Setelahnya Jeno hendak kembali ketempat duduknya, saat matanya menyempatkan diri melirik Renjun. Ia terkejut mendapati sebuah luka di sudut bibir pemuda mungil itu, ia tak tau apa yang teman sekelasnya sudah lakukan pada Renjun.

Jeno sungguh berniat menanyakan hal itu, namun ia urungkan. Tak mau terlalu mengurusi orang lain.

Renjun bersyukur ia pulang lebih dulu dari Soobin dan Beomgyu, jadi ia tak perlu menjelaskan apa-apa tentang luka di wajahnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Renjun bersyukur ia pulang lebih dulu dari Soobin dan Beomgyu, jadi ia tak perlu menjelaskan apa-apa tentang luka di wajahnya. Renjun sudah malu mendapat segala kebaikan Beomgyu dan Soobin, ia tak mau membuat keduanya direpotkan lagi dengan mengkhawatirkan dirinya. Sudah cukup kehidupan Renjun yang semuanya ia dapat karena diurusi keluarga Soobin dan Beomgyu. Renjun tak akan membicarakan apapun tentang kejadian yang menimpanya di sekolah, kepada kedua orang itu. Meskipun Renjun butuh teman bicara.

Ia akan memilih menceritakannya pada dokternya, itu lebih baik karena memang itu tugas dokter park. Mendengar dan merawat Renjun. Jadi Renjun memutuskan untuk pergi kerumah sakit, hendak menemui sang dokter. Saat ingat, ia juga sudah lama tak mengunjungi kakaknya.

"Kak, Xiao!" Renjun menyapa ceria sosok yang terbaring lemah dengan peralatan medis yang menempel di tubuh kakaknya itu.

Setelah menutup pintu dengan baik, Renjun mendekati ranjang itu. Meraih jemari yang lebih besar dari miliknya, mengusapnya perlahan. Lalu tangan yang satunya menyentuh lembut mata terpejam milik sang kakak.

"Kapan bangun?" Senyuman lebar yang tadi sempat hadir, kini lenyap. Raut sedih menghiasi wajah bungsu Huang. Lama sekali ia tak mendengar suara sang kakak, ia rindu Xiaojun.

Melihat kondisi saudaranya yang tak kunjung membaik, kadang memunculkan pikiran buruk di benak Renjun. Ia takut Xiaojun tak akan membuka matanya lagi, dan meninggalkan dirinya sendirian. Renjun tak mau itu, ia masih membutuhkan Xiaojun. Renjun duduk di kursi sebelah ranjang, kembali berbicara. Tak peduli bahwa itu hanya pembicaraan satu arah.

"Tadi, ada yang menendang punggungku. Rambutku juga kena jambakan, itu sakit." Renjun merasakan wajahnya memanas, air mata menuruni pipinya dengan cepat. Sedih sekali rasanya, ia menghadapi semuanya sendirian.

"Ah, bahuku juga kena. Dan satu lagi, ini." Renjun menyentuhkan telunjuk Xiaojun pada luka di dekat bibirnya.

"Aku tak mau membicarakannya pada Beomgyu dan Soobin, mereka akan kembali melakukan pembelaan mati-matian untukku. Aku tak mau itu. Aku ingin kak Xiao yang melakukannya."

"Sengaja aku membicarakannya padamu, agar kau mendengarnya dan mau bangun untuk membelaku. Kau bilang sayang padaku, jadi harusnya kau membela adikmu yang kesakitan ini." Renjun menarik napasnya dengan berat, sesak terasa di dadanya. Ia ingin Xiaojun benar-benar bangun, dan menjawab akan membelanya.

"Aku kembali dihadapkan situasi yang sama. Orang-orang mengatakan keluarga kita pembunuh. Dan sebagai balasannya, mereka menyakitiku tanpa ampun."

Renjun menyeka air matanya. Sudah, ia tak mau berbicara lagi. Itu hanya membuatnya semakin sedih dan sakit.

"Aku akan pulang, sampai jumpa." Renjun keluar ruangan itu, hendak menghampiri dokter Park sesuai niat awalnya. Namun begitu mendekati ruangan yang ia ketahui milik sang dokter, Renjun mundur.

Untuk apa ia kemari, rasanya tak perlu. Dokter Park akan bosan mendengar ceritanya, lebih baik Renjun diam saja menelan segala kesulitannya sendirian.

a lot like love ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang