Chapter 4

475 87 26
                                    

Isak tangis tiada hentinya meraungi rumah besar bak istana itu. Aidan serasa lunglai dihadapan jenazah adiknya tersebut.

Arsen tak lagi punya daya untuk kuat disisi tubuh anaknya yang sudah rusak dan kaku itu. Bagai badai menimpa dengan satu kali dentuman.

Julian hanya bisa merangkul kekasihnya, berharap segalanya hanyalah mimpi. Tapi apalah daya, ini bukan mimpi. Ini nyata dan abadi. Dia hanya bisa menangis, menguatkan Arsen dan dirinya sendiri.

"Mau ngapain lo kesini?" tanya Yasmin ketika dia baru saja memasuki halaman rumah mewah Januar dan melihat Stefan menginjakkan kakinya disana.

"Min, gue cuma mau liat Kamar, Min! Gue ingin kasih penghormatan terakhir untuk kakak gua" kata Stefan, memelas.

"Jangan mimpi lo!!! Dia bukan kakak lo! Gue lebih bersyukur dia berpulang daripada harus jadi kakak apalagi cowok lo!!!" cetus Yasmin.

Stefan memejamkan mata, menangis
"Gue nyesel, Min! Gue minta maaf"

"Bullshit!!! Udah gak ada gunanya sekarang! Adrial udah meninggal! Lo bisa apa??? Bisa balikin dia hidup lagi???" tanya Yasmin kuat-kuat.

Rabu dan Sabtu yang ada disana juga hanya bisa terdiam, tak mau terlalu ikut campur.

"Min, udahlah. Suasana lagi berkabung gini, malah pada berantem, sih!" tukas Rabu.

"Tau, hormatin Adrial napa!" timpal Sabtu.

Yasmin terdiam, memperbaiki kerudungannya. Lalu dia berujar pada Mang Toha, "Mang, dia jangan sampe masuk ya!"

"Iya, Neng" jawab Mang Toha.

Stefan makin menitihkan air matanya, dia amat bersedih dengan segala kegundahannya kini. "Pak, saya cuma mau liat Adrial, Pak. Itu aja. Lima menit aja, Pak. Tolong"

"Maaf, Mas. Saya hanya menjalankan tugas. Suasananya juga tengah berduka. Jadi tolong untuk tidak menambah keruh suasana" kata Mang Toha.

Stefan menangis tersedu-sedu dan memilih pasrah untuk menunggu di dalam mobil dalam beberapa waktu. Namun tetap saja tak ada kesempatan yang datang. Disitulah Stefan memilih untuk pulang ke rumahnya dengan suasana hati yang kacau dan tangisan tiada henti.

~

Suara gemuruh tahlil terus menyertai pembawaan jenazah ke tempat peristirahatan terakhir. Aidan, Julian bahkan Arsen ikut menggotong keranda mayat Adrial sampai di pemakaman.

Suasana pagi itu begitu kacau. Tangis demi tangis memercah di udara tempat pemakaman umum tersebut. Terlihat Arsen dan Aidan menggotong keranda itu sambil menangis tak keruan.

Belum banyak kenangan dan momen berharga bersama Adrial, tapi si bungsu itu harus pergi meninggalkan dunia. Julian tak menitihkan air matanya, tapi hatinya tak kuasa menjerit. Pertama kalinya mengantarkan jenazah anaknya sendiri sampai ke tempat peristirahatan terakhirnya. Bagai dia harus berjalan di atas aspal panas telanjang kaki.

Beberapa teman Adrial yang ikut melayat, terlihat begitu berkabung dan bersedih. Kehilangan seorang teman dan sahabat seperti Adrial, rasanya bagai dunia berputar melawan arah. Duka sedalam lara adalah ketika kita kehilangan sahabat terbaik dalam hidup.

Setibanya di depan liang lahat, Julian dan Aidan turun ke dalam lubang kuburan tersebut. Kemudian bersiap untuk menghantarkan tubuh Adrial untuk menyentuh tanah.

Aidan makin menangis tak keruan kala dia harus mengangkat jenazah adiknya dan menurunkannya mencium tanah. Serasa baru kemarin ia dipertemukan kembali oleh Adrial pasca hilang, secepat surga merindukannya dalam lesatan detik.

Ia sayang pada Adrial. Tapi Tuhan jauh lebih sayang Adrial dibanding rasa sayangnya pada adik bungsunya tersebut.

"Ya Allaaah, Deeeeek!!! Maafin Bang Idan yaaa... belum sempet nyenengin kamu! Belum sempet memberikan kamu kebahagiaan dalam hidup. Maafin Bang Idan, Deeekk!!!" lirih Aidan di dalam lubang kuburan tersebut.

Dali di atas bersama Arsen turut menangis sejadi-jadinya. Kesedihannya semakin bertambah ketika jasad Adrial hendak dikuburkan. Itu berarti, sudah tak bisa lagi melihat Adrial untuk selama-lamanya.

"Selamat jalan, Naaak!!! Papa sayang kamu. Selalu, Nak!" ungkap Arsen dalam kesedihannya memandang jasad Adrial di dalam tanah.

Sementara Stefan jauh di bawah pohon di ujung sana, hanya bisa memandangi punggung para pelayat Adrial dari kejauhan. Tangisnya tumpah seketika. Ia amat bersedih ketika dia tak bisa melihat jasad Adrial untuk yang terakhir kali.

Dia tak bisa terima ketika harus mengalah karena tak diijinkan menghadiri upacara perpisahan pada Adrial Irsyadilah Januar tersebut. Stefan melinangkan air matanya.

"Kamaaaar... bertahun-tahun kita selalu bersama dahulu. Sekarang... di hari kepergianmu, Malik bahkan gak bisa ngeliat Kamar dari jarak dekat. Maafin Malik, Kamar. Malik udah nyampakin Kamar. Malik udah nyia-nyiain cinta Kamar buat Malik. Maafin Malik, Kamaaaar" tangis Stefan pecah disana. Sedih, sudah pasti. Apalagi kehilangan.

Sementara di kejauhannya lagi, sebuah mobil terparkir di pinggir jalan. Dua orang tengah melihat ke arah areal perkuburan yang ramai tersebut. Tori dan Miska seakan ragu untuk terus menyaksikan kepergian Adrial disana.

"Gila! Gua gak nyangka akan jadinya kayak gini, Mis!" ujar Tori, takut.

Miska memutar bola matanya ke arah Tori, "So???"

"Ya gua takut lah! Gila lo!!! Cepet, Mis ! Secepetnya kita harus cabut dari sini! Kita pergi ke luar negeri! Lo harus ngelindungin gua! Gua gak peduli walau harus ninggalin orang tua gua, yang penting gua gak di hantuin rasa bersalah" ungkap Tori, panjang lebar.

"Pardon me??? Asli lu bego apa tolol sih, Tor???" tanya Miska.

"Yang jelas gak segila lo!!! Harusnya sekarang juga kita cabut dari sini! Sebelum kita jadi buronan polisi!!!"

Miska tertawa, "Ngapain polisi ngeburon kita, dodol???"

"Lo gak inget apa, kita ini punya masalah apa???"

"Itu kan menurut lo!!! Menurut gua, semuanya udah aman. Bukti rekaman udah ancur. Adrial udah mati. Kelar kan? Siapa? Siapa yang lo takutin? Yasmin? Atau Rabu Sabtu? Atau Aidan???"

"Siapapun itu, Mis! Mereka pasti akan-"

"Mereka gak akan bisa ngapa-ngapain kita kalo mereka gak punya bukti!" potong Miska dengan tegas.

Wajah Tori terlihat pucat ketakutan. Semalaman dia tak bisa tidur saking overthingking-nya.

"Udah, Tor. Lo tenang aja! Lo bakal aman kok sama gue, tenang aja! Lo jangan perlihatkan rasa takut lo sama orang, apalagi kalo orang itu adalah lawan kita!" jelas Miska, "Inget! Kalo lawan kita sampe tau rasa takut kita, itu artinya mereka udah berhasil memenangkan setengah dari pertandingan!!!"

Tori mencamkan ucapan Miska barusan. Miska si cewek psycho. Miska si otak kriminal. Miska si dalang dibalik semua ini. "Awas aja lo kalo sampe kita ketangkep!"

"Enggak akan!!! Percaya aja sama gue! Lagian backing-an kita bukan orang sembarangan, Tor! Dia bokap tiri gue! Udah pernah di penjara selama belasan tahun! Jadi lo gak perlu kuatir, oke???" bujuk Miska.

Tori meyakinkan diri, dia menghela napas sambil menganggukkan kepalanya. Membenarkan semua ucapan Miska.

TO BE CONTINUED

Cerita akan di update berdasarkan jumlah komentar. Thank you

STUCK ON YOU 5 (FINAL 21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang