Chapter 43

301 52 12
                                    

"Miska?" Arsen tak menyangka bahwa Miska ternyata jauh lebih busuk dari yang ia bayangkan selama ini.

"Mis... balikin sama Papa itu semua, Nak. Itu punya mereka, bukan punya kita" ujar Caleb.

"Aku gak peduli. Papa pikir, setelah Papa mati, aku akan tinggal dimana? Papa pasti mau buang aku kan? Aku gak balik lagi jadi orang kaya kan? Jangan mimpi deh, Pah!" cetus Miska sambil menyembunyikan tangan kanannya di balik punggung.

"Enggak, Sayang. Papa udah siapin tempat yang juga layak untuk kamu. Papa sudah sisihkan untuk masa depan kamu. Mana mungkin Papa tega mau buang kamu, Nak" jelas Caleb meski terbata dan tertatih.

"Alaaah, bulshit! Eh! Elo aja bisa dengan mudahnya nyulik anak orang untuk semua ini ya. Masa gue gak bisa sih. Dan lo dengan gampangnya mau mengembalikan ini semua ke mereka pake alasan pengen tobat? Kuno tau gak cara lo!" ujar Miska.

"Miska! Dimana kamu sembunyikan surat itu! Itu hak kami! Bukan kamu!" ujar Julian.

"Diem lo, bacot!" hardik Miska pada Julian.

"Mis! Cukup Miska. Kamu jangan begini. Ini semua hanya akan buat kamu jadi gila. Kamu, kita semua gak akan dapat apa-apa nantinya, Sayang. Karena ini semua bukan kepunyaan kita" kata Caleb.

"Oh, gak semudah itu. Papa udah mau mati. Beda sama aku. Biar aku yang handle semua sekarang!" tegas Miska.

Julian hendak menghampiri Miska untuk menangkapnya, namun seketika tangan kanan Miska mengeluarkan sebuah pisau dapur dan di angkatnya tinggi-tinggi hampir mengenai wajah Julian.

"Bang!!!" Arsen berteriak saking terkejutnya.

Julian dapat berhenti secepat kilat ketika pisau itu berada di depan matanya.

"Jangan pernah macem-macem sama orang yang megang senjata!" tukas Miska menggertakkan giginya.

Julian pun mundur, mencari kesempatan untuk Miska lengah.

"Tuan Muda Arsen yang terhormat! Sepertinya kali ini kamu harus beneran mati. Agar surat-surat kuasa itu, jatuh sepenuhnya untuk aku!" tegas Miska sambil tertawa lantang.

Arsen melotot mendengarnya, berada di situasi yang berbahaya meski dia sudah pernah mengendalikannya.

Kemudian tiba-tiba saja Miska berlari menghampiri Arsen untuk menusuk perutnya dengan pisau tersebut.

Julian berteriak sekencang-kencangnya, "ARSEN AWAAAASSSS!!!"

SUKKKK!!! Perut pun tertusuk oleh pisau tersebut.

~

"Aidan!" panggil Dali seketika.

Aidan tidak bersuara. Dia hanya diam.

"Idan... Idan kenapa sih kok jadi dingin gini sama Dali?" tanya Dali.

Aidan masih diam, tak bersuara.

"Apa karena Dali terlalu maksa Aidan untuk belajar terus ya? Jadinya Aidan berubah gini sama Dali. Dali juga gak ngasih apa yang Aidan mau dan jadiin itu agar Aidan mau giat belajar ya?"

"Kalo tau ngapain nanya lagi?" tanya Aidan.

Dali terdiam sebentar, "Iya, Dali akuin Dali salah. Dali minta maaf. Tapi Idan juga harus tau, Dali ngelakuin itu agar Idan bisa jadi orang yang lebih rajin belajar. Untuk masa depan Idan juga. Dali ngelakuin itu bukan untuk menyiksa Aidan. Maafin Dali ya, Dali terlalu sayang sama Aidan, sampe gak tau harus ngelakuin cara apa biar gak kehilangan Aidan"

Aidan pun meluluh dalam sekejap dia langsung menarik tangan Dali dan memeluknya dengan erat. "Maafin gue ya, Dal. Maafin gue banget" ujar Aidan.

Dali dalam pelukan itu menitihkan air matanya dengan senyuman. "Maafin Dali juga ya, Idan. Dali banyak nuntut. Aidan jadi tertekan kayak gini gara-gara Dali"

"Gapapa. Gak sepenuhnya salah Dali juga" ujar Aidan.

Dali tersenyum penuh arti. Mengerti akan segala sesuatunya.

"Udah boleh ngentot kan?"

~

Rabu dan Sabtu terduduk di atas rooftop sekolah yang cuacanya setengah mendung tersebut.

Adrial dengan payah menghampiri tempat itu. Sebenarnya dia malas sekali untuk bertemu si duo mesum, tapi entah mengapa, mereka berdua hanya saling diam memandang ke arah penjuru kota dari atas sana.

"Kalian ngapain disini?" tanya Adrial.

Rabu dan Sabtu hanya menoleh sejenak. Lalu kembali memandangi pemandangan kota Platinum. Tak menghiraukan Adrial sama sekali.

Adrial sendiri dapat melihat ada raut keseriusan dan sedih di antara mereka berdua. Tumben, tak biasanya. Karena tak ada jawaban dari mereka sama sekali, akhirnya Adrial pun memilih untuk duduk di tengah-tengah mereka berdua.

Adrial mencoba menghela napasnya. "Gue itu salah banget ya?" tanya Adrial.

Baik Rabu dan Sabtu sama sekali tak menggubris. Mereka hanya diam, memandangi kota. Mereka tahu masalah Adrial tadi pagi bersama Stefan, tapi kali ini, mereka tak minat ikut campur. Masalah Imam jauh lebih besar dibanding masalah Adrial dan Stefan. Lelaki itu pergi. Pergi begitu saja. Meninggalkan bekas luka dan sisa rasa.

"Emangnya gue jahat banget ya jadi orang?" tanya Adrial sekali lagi.

Sabtu membuang napasnya. Merasa sedikit terganggu, namun dia mengemukakan pendapat. "Gak semua orang ngelakuin kesalahan, berarti dia udah yang paling jahat di bumi ini kali, Yal"

Mendengar Sabtu berkata seperti itu, Adrial dan Rabu gemetar sejenak.

"Stefan pergi pas abis gue maki-maki tadi pagi" kata Adrial.

"Terus gimana perasaan lo?" tanya Rabu, "Bukannya harusnya lo ngerasa puas?"

Adrial menundukkan kepalanya seketika.

"Lagian lo kenapa sih, Yal? Orang sebaik Stefan malah lo sia-siain!" tutur Sabtu.

"Gue bukannya nyia-nyiain. Tapi gue cuma pengin mastiin. Dia itu sebenernya suka sama siapa? Biar gak ada salah paham. Gitu aja" jelas Adrial.

"Lo cemburu?" tanya Rabu.

"Enggak, gue gak cemburu" jawab Adrial, santai.

"Kalo gak cemburu, lo pasti gak akan ngelakuin hal konyol kayak tadi" ujar Sabtu.

Adrial menunduk, diam membenarkan. Namun dia menekuk alisnya seketika, "Kalian tuh kenapa ya? Jadi diem gini? Lagi galau?"

Rabu dan Sabtu hanya saling berpandangan sebentar, lalu membuang wajah mereka dengan santai.

Sementara Adrial kembali berpikir akan Stefan.

~

"Caleb!!!" Julian berteriak begitu pisau Miska menancap di perut lelaki ringkih tersebut karena nekat melindungi Arsen dari serangan Miska barusan.

"Ya Allah, Caleb" Arsen mengerang ngilu melihat darah yang mengucur hebat di perut Caleb yang sudah robek.

Miska tersenyum sinis menyaksikan kejadian naas tersebut. Sekali lagi amarahnya membara. Dia semakin dendam dan berteriak sambil mengangkat tinggi-tinggi pisau tersebut, bertujuan untuk menancapkan pisau itu pada Arsen.

Namun ketika dia hendak menusuk punggung Arsen, pisau itu mendadak jatuh begitu saja kala suara ledakan terdengar disana. Peluru perak sukses menembus kaki kiri Miska.

"AAAAAAARRGGGGHHHH!!! FUUUCCCKKK!!!" ringis Miska sambil terjatuh dan tak bisa bergerak kala kakinya telah berhasil ditembak oleh Hema.

Robert langsung saja memasuki kamar tersebut dan buru-buru menelpon ambulan untuk segera membawa Caleb ke rumah sakit.

Hema lantas menyuruh pasukan khusus Tuan Arkan untuk memborgol dan menangkap Miska ditempat.

TO BE CONTINUED

Chapter-chapter terakhir dari serial STUCK ON YOU

STUCK ON YOU 5 (FINAL 21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang