Part 23 : Anak-Anak Pak Imran

535 73 61
                                    

[Kita ketawain dulu si Valaq]

Diamnya bukan emas melainkan suatu kebingungan untuk memulai bercerita

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Diamnya bukan emas melainkan suatu kebingungan untuk memulai bercerita.

💉💉💉

Deru mesin mobil terdengar jelas menyentuh indera pendengaran Lintang, ia dengan cepat membuka pintu saat Satria berteriak sambil merangkul Ananta.

"Masyaallah, Mas kok gak nunggu reda dulu!" omel Lintang meraih tangan Ananta, membantu Satria untuk membawanya ke dalam rumah.

"Kalo nunggu reda, dia bisa demam. Siapkan air hangat!" perintah Satria saat mereka telah berhasil membawa Ananta ke dalam kamar.

"Ayo, Dek ... Ganti bajunya, Mas siapkan air hangat buat mandi, ya!" ujarnya khawatir, ia hendak akan membantu Ananta untuk membuka pakaian namun ditolak. Adiknya langsung saja memilih untuk berjalan memegangi dinding menuju arah kamar mandi.

"Ya sudah, Mas nanti kembali lagi ..."

Ananta mengangguk menanggapinya.

💉💉💉

Selepas membersihkan tubuh dan sholat. Ia merebahkan diri diatas kasur, menutupi seluruh tubuhnya. Suara menggigil terdengar pelan di kedua rungu Satria. Membuatnya semakin cemas karena Ananta tidak menanggapi panggilannya melainkan masih nyaman terpejam.

Selimut hangat yang membalut dari ujung kaki sampai menyentuh dagu serasa tidak berguna sebab itu sama sekali tidak menurunkan rasa dingin disekitarnya. Nafasnya perlahan-lahan terhembus. Pejaman matanya membuat Satria tidak mau mengalihkan tatapan.

"Mas ... Belum bangun? Bangunin dulu, dia pasti belum makan."

"Iya, nanti ... "

Andaikan Lintang tahu, bahwa Satria yang mendengar kalimat itu kini sedang dilanda ketakutan luar biasa.

"Mas–"

"Iya, nanti ... Dia masih cape. Nanti Mas yang akan menyuapinya saat dia terbangun."

"Mas, Lintang mau bicara. Tapi di luar kamar Ananta, ya!"

Hembusan nafas kesal Satria tunjukkan. Ia dengan berat hati beranjak dari duduknya. Tangan yang sedari tadi digenggam kini Satria lepaskan.

"Hm, ada apa?" tanya Satria sudah tidak sabar. Ia tidak mau berlama-lama meninggalkan Ananta sendirian.

"Lintang takut."

"Maksudmu?" pandangan mata tajam semakin membuat Lintang ragu. Lidahnya seakan kelu, tak tega berucap.

"Mas ... Masa gak faham?" risau Lintang meraih tangan kanan Satria.

"Apa kita telepon Mas Fadhil sama Mas Tanjung?"

enfermedad [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang