thirty seven

1.1K 188 12
                                    

Tidak ada yang bisa mengalahkan rasa takut Jihan sekarang, nggak ada yang bisa nyamain gimana gemetarnya tubuh gadis itu.

Dohyon dari depan pintu operasi, menjambak rambutnya kasar, seolah semuanya hancur dalam sekejap.

"Kalau dia mati, mungkin gue akan nyusul." sahutnya, Haruto menyenggol kaki Dohyon cepat. "Nggak usah ngaco, dia gak bakal mati. Gue yakin, dia kuat."

Jihan menggelengkan kepalanya, air matanya yang senantiasa tidak pernah berhenti sejak 3 jam yang lalu.

Bundanya akan datang kesini nanti pagi, karena sekarang sudah kelewat tengah malam.

Kangmin ditetapkan sebegai buronan oleh polisi karena dengan sengaja menembak Jungwon tiga kali, di dada sebelah kanan, kaki, dan perut.

Kini lelaki itu sedang berjuang di dalam ruang operasi.

"Gue udah tau bakal berakhir kayak gini, gue pernah nggak sengaja megang pistol itu di belakang tubuh dia. Waktu gue tanyain itu apa, dia bilang itu dompet. Tapi beda, gue tau itu bukan dompet." jelas Jihan.

Ketiga cowok itu hanya diam, tak memberikan respon apapun.

"Maaf, gue cuma mau bilang maaf sama kalian." Jihan menghela napasnya kasar, "Gue diancam, gue bahkan nggak bisa napas kalau ada dia di sekitar gue."

"Udah lah, Han. Udah kejadian juga, nggak perlu disesalin. Anaknya juga udah jadi buronan." Win mengambil saputangan dari kantong celananya dan memberikannya kepada Jihan, "Btw, bokapnya Jungwon masih di Bali. Gue telfon tadi, udah langsung otw bro katanya."

"Iya, pasti Papanya khawatir banget. Anaknya kristis gini." sahut Jihan.

Keempat muda-mudi itu menempatkan atensinya tepat di depan pintu operasi, memohon semoga operasinya berjalan dengan lancar.

Karena tidak tahu akan bagaimana, jika Jungwon tidak kunjung membuka matanya, gadis itu akan hancur.

Ditemani dengan penyesalan seumur hidup.

🐰🐰🐰

May ditemani Wonyoung, menjenguk lelaki yang sudah terbaring selama sebulan tanpa adanya tanda-tanda akan siuman.

Dua jangkung itu diam, hanya duduk di kursi yang disediakan di samping kasur pasien. Jatuh ke dalam pikirannya masing-masing.

Sudah sebulan berlalu juga TO dan ujian lainnya penentu lulus atau tidaknya murid kelas akhir ini, kini mereka hanya menunggu hasilnya. Tapi dengan hati sendu, menunggu teman yang berada di depannya bangun, dan kembali dengan sifat Jungwon yang cuek.

Jujur, mereka semua merindukan Jungwon yang angkuh, kata-kata pedasnya yang tidak mengenal siapapun, mereka rindu hal-hal yang Jungwon lakukan.

Sementara, Jihan. Gadis itu membiarkan dua gadis 'saingannya' atau mantan saingannya bisa dibilang untuk menjenguk Jungwon, karena dulu Jihan sangat tidak suka kalau mereka berdua berdekatan dengan Jungwon. Tapi sekarang, rasanya Jihan tidak pantas mengatakan hal itu. Berdamai adalah jawaban.

Pintu ruang pasien VVIP diketuk dari luar, perawakan lelaki tua masuk. Menjatuhkan atensi langsung kearah anak semata wayangnya.

May dan Wonyoung berdiri memberi salam, lalu berjalan mundur dan duduk di sebelah Jihan.

"Nggak apa-apa padahal, Nak. Saya hanya mau ngambil baju kotor Jungwon." kata Papa Jungwon sambil tersenyum.

May dan Wonyoung mengangguk mengerti, "Iya, Om. Kita juga udah selesai." jawab Wonyoung cepat.

Jihan yang dari tadi hanya memandangi sosok lelaki pucat, menatap infusnya, menatap tangannya yang terbaring berharap penuh akan bergerak secara tiba-tiba.

"Are you okay, Han? Udah makan? Gue sama Wonyoung mau turun ke kantin rs, mau nitip?"

Jihan menggeleng, "Duluan aja, gue makan bentar lagi."

Dibalas anggukan oleh May, kedua gadis itu beranjak dari duduknya lalu berjalan keluar.

Tak lama juga, Papanya Jungwon ikut keluar dari ruangan. Membawa baju kotor.

Kini hanya ada dirinya dan dia.

Rasa bersalah menyelimuti gadis itu, berkatnya, Jungwon mengalami nasib sial ini, mimpi buruk bagi semua orang, mengalami kejadian tidak mengenakan dan berakhir koma di rumah sakit.

Berjalan kearah kursi di dekat kasur pasien, lalu duduk sambil membenarkan selimut Jungwon.

"Bangun,"

Jihan menghela napasnya kasar, "Gue mohon bangun."

Mendengar penjelasan dokter bahwa persentase kesempatan hidup lelaki di depannya ini hanya 20% karena tertembak langsung di dada dan perut, yang membutuhkan banyak darah.

Jungwon termasuk yang beruntung karena masih bisa bernapas walaupun harus di bantu alat.

"Soal TO jadi susah karena nggak ada lo, gue takut ranking gue turun."

Jihan menumpukan kepalanya di kedua tangannya, "Yang nembak lo udah ditangkep, Samuel malah kabur ke luar negri. Ayo bangun, bales mereka, dengan cara lo harus siuman, harus sehat. Biar mereka iri sama lo."

Memandangi wajah Jungwon yang pucat, "Gue lebih milih lo sinisin gue lagi, lo caci maki gue juga gak apa-apa. Asalkan lo bangun."

Hening.

Hanya terdengar bunyi bedsite monitor.

Jihan akan terus begini, setidaknya sampai ia puas menyalahkan diri sendiri.

Ia akan menemani teman kecilnya itu, sampai lelaki itu membuka matanya kembali, sampai rasa sakit hati maupun fisik Jungwon sembuh, setidaknya Jihan harus selalu ada di sampingnya.

Sampai pada,

Bunyi bedsite monitor yang beritme cepat tiba-tiba, Jihan berdiri dan menekan tombol darurat.

Tubuhnya kaku, pikirannya berantakan.

Ia berlari keluar, berteriak.

Dokter dan para perawat berdatangan, Jihan ditarik oleh salah satu suster untuk menunggu di luar.

Mimpi buruk Jihan.

Yang dirinya pikir tidak akan pernah terjadi padanya.

Sekarang gadis itu tau, bahwa dirinya tidak siap kehilangan lelaki itu.

Jihan tidak akan pernah siap.

less of you ; jungwon ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang