fourty

1.1K 207 14
                                    

"Bangun, Han. Kangen."

Jihan tersenyum, lagi-lagi ilusinya mempermainkan dirinya, mendengar suara seseorang yang sangat Jihan rindukan.

"Udah gue bilang jangan masuk ke kamar orang sembarangan."

Gertakan itu, Jihan bisa membayangkan bagaimana wajah Jungwon yang menatap dirinya dengan sinis. Menatap gadis itu seolah ia membuat masalah besar.

"Lo bisa bangun sekarang?"

Sungguh, rasanya kalau ini mimpi, tolong jangan bangunkan Jihan selamanya. Ia ingin berada dimana ia bisa mendengarkan suara lelaki itu selamanya.

Tapi tidak tau kenapa, air matanya malah memenuhi pelupuk matanya. Bersiap untuk menangis, lagi.

"Nggak ada tisu di kamar gue, jangan nangis."

Terisak kencang, "STOPPPP!" Jihan berteriak, sudah cukup halusinasinya, ia tidak mau tambah disakitkan oleh realita. Realita bahwa semua ini hanya ada di imajinasinya.

Gadis itu menangis.

Menangis seperti hari esok akan sirna, menangis seperti dunia akan runtuh dan menghancurkan segalanya dalam sekejap.

Memukul berkali-kali dadanya, terasa sesak dan hampa. Ia hanya ingin semuanya kembali seperti semula, ia tidak akan siap menjadi dewasa, ia tidak akan siap tersenyum kepada dunia, tanpa sosok Jungwon di sampingnya.

Ini mimpi buruk, ditinggalkan seseorang yang amat sangat Jihan sayang.

Memang, sesuatu yang diambil secara tiba-tiba itu akan membuat kita merenung, apa saja yang kita lakukan saat 'sesuatu' itu masih ada di genggaman kita. Sekarang yang tersisa hanya isak tangis penyesalan.

Jihan menghembuskan napasnya kasar.

Dia harus melepas ini semua dan membiarkan waktu yang menyelesaikan tugasnya.

Gadis itu harus melepas semua kenangan dan penyesalan yang terus menghantuinya akhir-akhi ini, ia harus sadar, dirinya punya prioritas.

Jihan harus bisa melawan rasa sedih, dan memulai kehidupan baru. Dan mencari support system barunya.

Kini nggak ada lagi sosok lelaki yang pulang sekolah dengan luka-lula di tubuhnya akibat bertengkar, nggak ada lagi bentakan suara mereka ketika bertengkar.

Yang ada hanya kenangan, yang harus Jihan simpan di dalam hatinya.

Membuka matanya perlahan, Jihan mengangguk. Mengusap kedua pipinya menggunakan punggung tangan, bangun dari tidur. Terduduk sambil melepaskan kunciran dari rambutnya, dan menatap seseorang yang sedang memunggunginya.

Menghadap berlawanan dari arah Jihan duduk.

Duduk di kursi belajar, melakukan sesuatu yang Jihan tidak mengerti.

Tubuh Jihan menegang, napasnya tercekat, peluh memenuhi dahinya, matanya membulat sempurna.

Sepertinya tuhan memberikan kesempatan untuk bertemu dengan teman kecilnya itu.

Jihan tau ini hanya mimpi, tapi ini terasa nyata. Menatap punggung yang familiar sedang membelakanginya.

"Kenapa nangis?"

Suaranya...

Tubuh Jihan bergetar, bersiap untuk menumpahkan lagi air mata yang tertahan. Jihan bersumpah, jika dirinya terbangun nanti, Jihan akan semangat menjalani hari-hari. Ini bukti bahwa tuhan memberikan kesempatan untuk bertemu Jungwon sekali lagi, walau hanya di dalam mimpi.

"Gue nggak pernah ngizinin seseorang masuk kamar gue, kan?"

Jihan tertawa mendengarnya, "Di dalam mimpipun, lo ngeselin."

Lelaki itu berbalik, menampilkan wajah yang Jihan rindukan. Seolah Jihan tidak mau kembali, ia hanya ingin hidup disini. Melihat Jungwon yang ada di depannya.

"Apa gue nyusul lo, Won? Jujur gue belom siap tanpa lo di hidup gue, gue ancur, gue rapuh. Gue pengen bareng sama lo even bukan disini tempatnya."

Jungwon sepenuhnya berbalik, beranjak dari duduknya. "Gue udah mati dari dulu, Han. Jauh dari gue ketemu lo. Rasa gue udah mati saat bokap nyokap gue cerai. Wanita yang harusnya jadi cinta pertama gue, yang harusnya selalu ada buat gue, yang harusnya gue dibimbing dan merasakan adanya 'Ibu' di hidup gue. Tapi nyatanya, gue harus survive sendirian." mata lelaki itu berbeda, memancarkan tatapan yang belum Jihan lihat sebelumnya.

"Lo tau, kan? Bokap gue nitipin gue ke Bunda lo, karena bokap gue 'ada' tapi nggak berdampingan dengan gue. Papa gue sibuk, but i understand. Dia kayak gitu demi gue, demi ngehidupin gue."

Jungwon duduk di sebelah Jihan, "Harusnya lo bisa tanpa gue."

Rasanya Jihan ingin memarahi kedua matanya karena terlalu banyak menumpahkan cairannya hari ini.

"Maaf," kata Jihan akhirnya, "Maaf kalau selama ini buat lo kesepian, maaf kalau lo merasa nggak punya siapa-siapa, maaf kalau lo nggak merasakan kehadiran gue dan Bunda. Gue berusaha, Won. Tapi mungkin cara kita salah, dan lo nggak nyaman. Maaf udah gagal, maaf udah bikin kecewa."

"Gue nggak tau, Won. Kalau perpisahan kita secepat ini, padahal gue ngarep banget kita berjodoh, hahaha!" sahut Jihan.

Keduanya terdiam, dipenuhi dengan pikiran masing-masing.

"Kenapa masih pakai kebaya? Emang nggak panas?"

Jihan melihat tubuhnya, masih lengkap dengan kebaya yang ia pakai untuk tadi wisuda. "Hari ini kita wisuda, semuanya terasa cepet, ya? Gue ngerasa baru kemarin daftar SMA bareng lo, ternyata sekarang akhirnya. Hari yang kita semua tunggu-tunggu,"

Jihan menghela napasnya, "I wish you were there."

"What do you mean? Gue kesana."

Jihan menatap Jungwon bingung.

"Gue murid sana juga kali? Gue kan udah sembuh?"

less of you ; jungwon ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang