thirty eight

1.2K 192 31
                                    

Pakaian hitam yang memenuhi pekarangan rumah lelaki yang kerap disapa Jungwon.

Sepatu dan sandal tersusun rapi menandakan terdapat banyak sekali orang-orang yang sedang memanjatkan doa untuk yang sudah pergi.

Haruto, menatap sahabatnya, dengan kain yang setengah terbuka, "Kok lo jahat sih, bro? Lo ninggalin gue duluan? Emangnya gue salah apa?"

Kedua temannya sama-sama mengelus pundak Haruto, mereka tau, lelaki ini yang paling dekat dengan Jungwon.

"Disaat hari kejadian itu, ngeliat lo ketembak, denger lo bilang, 'Bokap gue, hubungin bokap gue' gue rasanya mau mati aja." Haruto mengusap air matanya kasar, "Katanya kalau lo sembuh dari sakit pinggang lo, kita mau balapan, Won? Jadinya kita balapan di surga nanti, ya?"

Sementara, di sisi lain.

Jihan, menatap teman kecilnya.

Pucat dan terdapat beberapa luka memar di wajahnya.

Dia sudah terlalu banyak menangis, air matanya tertahan.

Dulu disaat mereka memasuki sekolah dasar, Jungwon selalu memarahi Jihan kalau gadis itu menangis. Katanya, jangan memperlihatkan kelemahan kita di depan orang lain, nanti bisa dimanfaatkan.

Gadis itu tambah histeris dulu, padahal maksud Jungwon benar. Tetapi senang sekali jika lelaki itu sudah marah-marah, artinya Jungwon itu peduli, tapi dengan caranya.

Sekarang berbeda, tidak ada lagi yang memarahi Jihan jikalau gadis itu menangis.

Teman kecilnya sudah pergi.

Tidak ada pandangan sinis Jungwon, atau Jungwon yang minta dipakaikan pomade, atau Jungwon yang pura-pura marah karena ia khawatir dengan Jihan.

Tidak ada Jungwon yang mengelus kepalanya, tidak ada Jungwon yang menatap mata indahnya.

Tidak ada Jungwon-nya.

Selamanya. 

🐰🐰🐰

Waktu tetap berjalan, tapi tidak dengan Jihan.

Dirinya menatap keluar jendela kamarnya, sudah hari kesepuluh sejak kepergian-Nya.

Tidak ada yang berubah, tukang sayur keliling masih sering melewati pekarangan rumah Jihan, bocah-bocah berlarian bermain petak umpet, hujan di sore hari dengan petir yang menggelegar. Rasanya tak adil bahwa hanya Jihan yang merasa dunianya berhenti di hari itu.

Hari dimana semuanya masih ada, masih di genggamannya.

Haruto, Dohyon, dan Win masih kerap mengunjungi Jihan sesekali, hanya untuk mengantarkan makanan, atau sekedar bertukar kabar.

Tapi sama saja.

Tidak ada miliknya.

Tidak ada sosok yang dia inginkan.

Seseorang mengetuk pintu kamar Jihan, itu Bundanya.

"Makan siang? Sama Bunda, yuk?"

"Bunda, aku ingin makan siang. Tapi sama Jungwon." sahut Jihan, masih memandang keluar jendela.

Bundanya hanya diam, tidak menjawab anak gadis semata wayangnya itu.

Membereskan tempat tidur, walaupun sudah keliatan rapi. Menghampiri Jihan, mengelus kepala gadis itu. "Lagi ngeliat apa?"

"Dulu di depan gerbang, pernah kehujanan bareng sama Jungwon, pernah sama-sama bangun siang terus telat berangkat sekolah, pernah dimarahin karena pulang telat. Tapi sekarang nggak ada yang marahin aku lagi."

Tak sadar air mata itu jatuh, semenjak hari dimana teman kecilnya pergi. Ini kali pertama ia menangis lagi.

"Aku terlalu banyak ngecewain dia, Bun. Aku gagal jadi sahabat kecilnya. Ego aku terlalu tinggi untuk minta maaf, aku terlalu buta buat ngertiin dia, dimana dia butuh orang buat bersandar. Karena nggak ada lagi orang yang ada di samping dia, dia butuh aku. Tapi aku terlalu tutup mata selama ini. Aku kira, dia beneran bilang bahwa kita beneran udah nggak ada apa-apa lagi, dia--"

"Sayang," Wanita berumur empat puluh tujuh tahun itu memeluk Jihan, memberikan pelukan hangatnya, berusaha memberikan energi dan ketulusan.

"Nggak ada yang namanya mantan sahabat, kamu sama dia emang ditakdirin buat bertemu dan berbagi keluh kesah. Dan itu anugrah. Jihan, Bunda yakin dia bahagia liat kamu sekarang. Yang kita harus lakukan adalah berdoa dan berharap, kelak di tempat lain, kita semua bisa bertemu kembali."

Tangis Jihan pecah saat itu juga.

Merelakan adalah hal yang tidak mau Jihan tau atau Jihan pelajari.

Bahwa, dia lebih memilih tidak bertemu dengan orang sama sekali kalau akhirnya dia harus berpisah.

Yang ia ingin hanya akhir yang bahagia, tapi kadang hidup memang seperti ini, tidak berjalan sesuai keinginan.

Jihan harap kalau semua ini mimpi, tuhan akan membangunkannya dengan segera.

Walau semua itu mustahil.

less of you ; jungwon ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang