Menapakkan kaki beralas sepatu berwarna putih di lantai lorong rumah sakit. Suasana terasa begitu hening dan sayup-sayup kehidupan menanti harapan.
Tap.... Tap.... Tap....
Mengenakan celana dan kaos lengan panjang warna hitam. Lea menundukkan pandangan dan kedua tangan lurus ke bawah.
Memakai topi warna putih di kepala. Lea juga memakai masker medis hingga menutup wajah sampai di bawah mata.
Tidak sendirian, di samping kiri ada orang suruhan yang menemani. Siapa lagi kalau bukan Melati. Bersama perempuan muda itu, Lea merasa seperti di temani seorang guru. Canggung.
Semakin ke dalam, suasana kian menyepi. Seorang dokter menghampiri Melati dan meminta mengikutinya diikuti Lea.
Langkah kaki berhenti, Lea menoleh ke samping. Berdiri di depan ruangan ICU yang tertutup rapat. Dengan pengawasan sekitar ketat.
Lea melirik ke salah satu penjaga. Mereka saling beradu tatap mata. Lea memelototi pria muda berwajah tegas itu. Pria itu melirik heran, lalu geleng-geleng kepala.
Sebelum memasuki ruangan, Lea melepas topi dan masker. Lalu, diberikan kepada Melati. Kemudian, menitipkan ponsel. Setelah itu, memakai jubah steril berwarna biru.
Ceklek!
Dokter mempersilakan Lea masuk ke dalam ruangan ICU. Meninggalkan penjenguk pasien seorang diri dan menutup pintu.
Lea tidak lagi menundukkan pandangan, tatapannya kini lurus ke depan dan melihat seseorang terbaring koma di atas ranjang rumah sakit.
Hening suara manusia.
Yang terdengar hanya suara mesin. Lea juga melihat beragam alat penopang kehidupan yang tak ingin ia hapal, terpasang di tubuh seorang wanita.
Aroma cairan infus yang awalnya tak di suka perlahan menjadi hal biasa untuk di hirup Lea.
Dua tahun bukan waktu yang singkat.
Pelan-pelan kaki melangkah mendekat. Memandang seorang wanita berwajah pucat dengan mata terpejam sempurna. Walaupun terbaring tak berdaya, wajah wanita berkulit putih itu masih bersinar cantik.
"Mama kapan bangun?" ucap Lea memelas lebay.
Lalu, celingukan mencari kursi. Setelah mendapatkan, ia tarik mendekat di samping brankar dan menempelkan tubuhnya ke kursi.
"Rumah sepi tanpa mama. Oh iya, Ma. Lea mau curhat." Mencondongkan tubuh ke depan.
"Kakek makin hari ngeselin ya, Ma." Lea menopang dagu menggunakan kedua tangan. Dengan siku di atas kasur bersprei warna putih.
"Masa kakek nyuruh aku berteman baik sama mereka, tiga besar peringkat paralel di sekolah."
Lea bercerita, lebih ke mengomel di hadapan mama. "Boro-boro berteman baik, ngomong sama mereka aja rasanya menggigil—"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ingenious
Teen FictionBukan yang pertama tetapi terakhir seakan tidak punya tujuan hidup. Lea peringkat terakhir paralel dituntut ambisius dan harus mencari partner belajar (sejarah, matematika, biologi) supaya nilai rapornya tidak merah lagi. Kelompok murid ambis terga...