Dorongan
•
Sambil membawa nampan berisi makanan dan minuman. Lea celingukan mencari tempat duduk kosong di kafetaria. Terlihat penuh.
"Lea!"
Menoleh ke asal suara. Lea melihat Rafael mengangkat tangan setinggi mungkin. Duduk di bangku kafetaria bersama teman-temannya.
"Duduk sini!" ajak Rafael antusias. Senyum di wajahnya benar-benar menghipnotis.
Senyum Lea memudar saat melirik orang-orang yang duduk di sekitar Rafael. Salah satunya orang yang pernah mem-bully dirinya tanpa ingin tangannya kotor.
Lea heran, kenapa waktu itu harus Rafael yang meminta maaf kepadanya. Atas kesalahan telah dilakukan sahabatnya yang nggak punya hati itu. Sampai sekarang saja, Lea belum mendengar kata maaf secara langsung keluar dari mulut Bagas.
Lea tidak peduli, meskipun ada sakit di hatinya. Ia sudah lelah dan tak ingin memperbesar masalah, di tambah waktu terus bergulir hingga merasa kejadian lampau itu tak perlu di ungkit-ungkit lagi.
Ke bangku seberang, Lea menemukan peringkat pertama paralel. Bersama dua teman perempuan. Mengenakan kardigan pink. Melihat tatapan matanya, mengingatkan momen pertama kali mereka berbicara di awal bulan Januari. Sungguh, Lea tidak suka tatapan menginterogasi yang dilakukan Alsa. Melihat nya saja Lea bisa menebak kalau kehadirannya tidak ingin di terima di antara mereka.
"Lea." Suara manja tidak asing mengalihkan perhatian si pemilik nama. Tangan yang melingkar tiba-tiba di lengan. "Makan bareng sama gue, yuk." Menunjuk. "Di sana, gue sendirian."
Lea melirik malas, ia singkirkan tangan Manda yang menyentuh seragamnya. Tanpa mengucap sepatah kata, pergi begitu saja ke tempat duduk yang baru saja di tinggalkan penghuni sebelumnya.
"Lo masih marah sama gue? Sampai-sampai, lo harus pindah jadwal bimbel." Dengan tatapan memohon. "Lea, gue minta maaf. Lo mau, kan, maafin gue?"
Acuh tak acuh. "Gue udah maafin lo."
"Beneran?"
Lea mengangguk tanpa menatap mata Manda yang berbinar-binar. Memilih fokus ke piring dan mencampur makanan di atas meja. "Lo bisa pergi."
"Lo ngusir gue?"
Lea hanya diam seolah Manda tidak duduk berhadapan dengannya. Tidak peduli juga kalau mantan teman bimbelnya itu memajukan bibir.
Hening.
Mendengar suara menghirup udara dari lubang hidung, seperti menahan tangis. Lea melirik ke depan. Menghentikan aktivitas. "Lo ngapain nangis?"
Lea sedikit panik mendapati Manda bergelimang air mata. Menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Juga wajah memerah.
"Gue tau, lo masih marah sama gue," lirih Manda.
Lea tidak habis pikir. Terheran-heran. Menelan ludah. Menggaruk rambut tak gatal. Benar-benar bingung dihadapkan pada situasi konyol seperti ini.
"Man, gue udah nggak marah sama lo. Nggak usah nangis."
"Kalau udah nggak marah. Lo ngapain ngusir gue?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ingenious
Fiksi RemajaBukan yang pertama tetapi terakhir seakan tidak punya tujuan hidup. Lea peringkat terakhir paralel dituntut ambisius dan harus mencari partner belajar (sejarah, matematika, biologi) supaya nilai rapornya tidak merah lagi. Kelompok murid ambis terga...