Lea membelalakkan mata.
Apa yang harus dilakukannya?
Lea harus pergi ke kamar yang berada di lantai dua. Segera dia ambil ponsel di atas meja dan mempercepat langkah kaki.
"Ehem." Suara pria tua berdeham. "Seperti itu, cara kamu menyambut saya?"
Lea terpaksa berhenti. Menghela napas sabar dan membetulkan posisi berdirinya serta membalikkan badan dengan kepala menunduk.
"Ada siapa saja di rumah?"
Terdiam sebentar.
"Bibi lagi pulang kampung, suaminya sakit. Saya sendirian di rumah Kek. Eh, tidak sendirian. Ada satpam yang jaga di depan."
Imran—kakek Lea—menaruh kedua tangan ke belakang tubuh. Imran berjalan tegap menuju sofa tunggal di depan sana.
"Saat tidak ada orang dewasa yang mengawasi. Apa yang sering kamu lakukan saat sendirian di rumah?"
Masih menunduk.
"Makan, tidur, main hp, nonton tv, nonton upin ipin, terus pergi main sama teman kalau ada yang ngajak."
Lea sesekali melirik kakek, lalu cepat-cepat menunduk kembali.
"Tidak belajar?" tanya Imran menatap penasaran, niatnya ingin meletakkan tubuh ke sofa langsung di urungkan.
Lea terdiam dan menelan saliva kasar.
"Be-belajar."
Kakek sedikit mendongak dan menatap sebentar atap langit bangunan rumah. Setelah itu, duduk dengan tenang. Usia bertambah dan rambut putih tidak memudarkan semangat hidup untuk memiliki tubuh sehat dan wajah awet muda.
"Saya sudah melihat hasil rapor mu semester kemarin. Sangat memalukan."
Lea menunduk. Kalau saja kakek duduk membelakangi dirinya, tentu saja kesempatan untuknya kabur ke kamar terbuka lebar. Namun, detik ini takdir tidak berpihak kepadanya.
"Peringkat terakhir. Tiga mata pelajaran di bawah batas minimum dan nilai matematika yang paling menyedihkan." Imran merapikan setelan jas hitam yang dia kenakan.
Lea diam.
"Wali kelasmu menelepon orang suruhan saya. Katanya, kamu tidak mau perbaikan nilai rapor walau masih ada kesempatan."
Imran duduk dengan punggung bersandar dan kedua tangan menyender pinggiran sofa. Kedua kaki di biarkan terbuka.
"Kenapa tidak mau? Apa kamu sudah bangga berada di peringkat terakhir? Jangan menyusahkan dirimu sendiri di masa depan."
Lea meremas lemah kedua sisi lipatan rok seragam abu-abu panjang semata kaki. Dengan keberanian ia melirik kakek satu detik.
"Kenapa diam? Jawab."
Lea mengedipkan mata. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Bingung dan ingin rasanya menghilang saja. Lea tidak suka berada di situasi tertekan seperti ini. Ingatan masa kecilnya berputar sekilas di dalam benak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ingenious
Teen FictionBukan yang pertama tetapi terakhir seakan tidak punya tujuan hidup. Lea peringkat terakhir paralel dituntut ambisius dan harus mencari partner belajar (sejarah, matematika, biologi) supaya nilai rapornya tidak merah lagi. Kelompok murid ambis terga...