Air Mata
•
Menata kertas ulangan di atas meja. Membandingkan nilai satu sama lain. Seratus berjumlah empat.
Lea duduk dengan tubuh tegap. Raut wajahnya datar. Mengamati saksama. Kalau dipikir-pikir perubahannya dari semester satu kemarin melambung pesat di semester dua sekarang dalam waktu singkat.
Tidak juga.
~
"Gue nggak akan tanya masalah lo sama Alsa waktu itu."
Mengekor di belakang salah satu dari sekian banyaknya murid berprestasi di sekolah. Lea mengimbangi langkah kaki Rika di koridor.
"Lo gabut atau gimana? Dari tadi ngikutin gue mulu."
Yang diikuti berjalan santai dan langkah kakinya sama sekali tidak feminim.
Lea mengikuti gaya berjalan cewek di sebelahnya. "Gue akan pergi kalau lo udah jawab pertanyaan gue dengan jujur."
Pandangan lurus ke depan dan santai. "Lo udah dapatin apa yang lo mau, kan?"
Hening.
Menyusul. "Gue heran. Kenapa latihan soal yang pernah lo kasih bisa sama persis—"
Mood mendadak berubah. "Nggak usah bahas."
"Nggak hanya satu mapel, tapi ... empat—"
Berhenti. Habis kesabaran Rika, ia angkat kerah seragam Lea dan menyudutkannya di dinding. Sampai-sampai, Lea meringis sebab punggungnya sedikit sakit. "Lo mau apa? Hm?"
Lea menelan ludah. "Gue cuma butuh penjelasan lo, Ri-Rika."
"Ada harga, ada kualitas. Paham lo?" Melepas kerah, tidak seharusnya ia memperlakukan Lea seperti itu.
Lea bernapas lega. Merapikan kerah. Tekanan Rika cukup kuat. Tidak salah, dia atlet beladiri.
Rika mendekat. "Gini aja, gue kasih pilihan. Kalau lo udah nggak minat, itu terserah."
Butuh lima detik tuk mencerna maksud Rika. Lea berkedip. Memalingkan wajah. Merenung. Telapak tangan kanan memegang dahi.
Mondar-mandar. "Iya, terserah gue."
"Jadi?"
"Jadi .... Gue yang terlalu naif emang."
Rika menyeringai lelah hingga giginya tampak, setelah mendengar Lea tak bersemangat.
"Lo—"
Rika dengan tenang meyakinkan, meskipun Lea menatapnya ragu . "Lo nggak lupa, kan, ujian—"
Lea menggeleng pelan. "Lo nggak usah balikin duit yang udah gue transfer. Ambil aja."
Buru-buru pergi. Lea tidak peduli kalau Rika di belakang memudarkan senyum seringai dan menatap punggungnya datar.
Memijat pangkal hidung. Lea berhenti saat langkahnya baru dua meter. Ia berjongkok dan mengutuk diri sendiri.
Saat dirinya berdiri dan membalik badan. Lea terperanjat kaget dan mundur dua langkah. "Allahu Akbar! Kaget gue ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ingenious
Teen FictionBukan yang pertama tetapi terakhir seakan tidak punya tujuan hidup. Lea peringkat terakhir paralel dituntut ambisius dan harus mencari partner belajar (sejarah, matematika, biologi) supaya nilai rapornya tidak merah lagi. Kelompok murid ambis terga...