"Rafael! Fotonya yang bagus, loh!"
Lea memperlambat langkah kakinya usai mendengar suara lantang seorang wanita di samping kanan. Lea berhenti dan memperhatikan beberapa guru berjejer rapi di depan air mancur sekolah dan membelakangi dirinya.
Guru berjumlah lima orang itu mengajak seorang lelaki bertubuh tinggi dan berprestasi di bidang musik untuk foto bersama. Terbukti digenggaman tangannya membawa piala kaca mengkilap.
"Siap Bu!"
Rafael mengacungkan jempol tangan kanan, sedangkan tangan kirinya memegang kamera berwarna hitam yang sejak tadi dikalungkan ke leher. Lelaki berambut poni dibelah dua itu bersiap memotret.
"Eh, Rafael. Kamu agak geser ke tengah!"
Rafael yang sudah meletakkan satu matanya di belakang lensa kamera pun menunda niat.
"Oh, siap-siap!"
Rafael fokus ke titik lensa. Melihat para guru dengan senyum dan gaya terbaiknya. "Satu ... Assen senyumnya mana? Masa datar gitu?"
Merasa ditegur, Assen langsung tersenyum pelan-pelan.
"Satu, dua, tiga!"
Cekrek!
"Satu, dua, tiga!"
Cekrek!
Rafael sejenak mengecek hasil foto. Penglihatannya menangkap satu hal menarik.
Seorang perempuan bertubuh tinggi dan berambut panjang agak mengombak. Berdiri di samping kiri paling belakang jarak tiga meter. Sedang memperhatikan, terlihat dari sorot mata dan wajahnya yang berekspresi biasa saja.
Rafael langsung menegakkan mata dan mencari keberadaan perempuan itu, ternyata telah berjalan menjauh ke samping kanan—di belakang air mancur.
"Lagi Rafael, gaya bebas."
"Siap Pak!"
Cekrek!
Cekrek!
~
Berdiri seorang diri di depan sekumpulan pigura yang tertempel di dinding. Pigura yang menampilkan jelas wajah-wajah murid yang berhasil mengharumkan nama SMA Laskar Angkasa, terutama kancah nasional sampai internasional.
Dengan kedua telapak tangan mengarah berlawanan. Lea menyatukan jari telunjuk tangan kanan ke jempol kirinya membentuk kamera gaya memotret.
Secara acak, tangannya pura-pura memotret di depan pigura yang terpampang jelas wajah tampan seseorang. Lelaki itu tersenyum tipis. Lea juga tak berniat membaca nama yang tertera di bawahnya.
"Apa bagusnya coba wajah mereka di pajang kayak gitu?" ujar Lea santai.
Orang-orang akan mendapati wajah murid berprestasi di pigura tiga tahun terakhir. Di saat mereka memasuki gedung utama SMA Laskar Angkasa. Bukan hanya pigura, mereka juga bisa melihat seluruh koleksi piala dari ukuran mini sampai jumbo. Ada medali dan piagam—keren.
"Ya bagus, dong. Meningkatkan popularitas," ucap seorang perempuan tiba-tiba.
Lea menyadari pun menurunkan tangan dan menoleh ke samping kiri—mendapati perempuan sebaya tampak gemas mendengar komentarnya dan tatapan matanya lurus ke depan.
"Sejak kapan lu di sini?" tanya Lea heran.
Merasa di tanya Manda pun menoleh. "Sejak lu ngomong sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ingenious
Teen FictionBukan yang pertama tetapi terakhir seakan tidak punya tujuan hidup. Lea peringkat terakhir paralel dituntut ambisius dan harus mencari partner belajar (sejarah, matematika, biologi) supaya nilai rapornya tidak merah lagi. Kelompok murid ambis terga...