18x - 4 = -4

2.3K 339 207
                                    

"Kak Melati?"

Perempuan berusia 24 tahun itu, tersenyum tipis ke arah Rafael. Mengenakan setelan baju kantor. Kemeja putih polos berlapis blazer ungu dan celana semata kaki warna senada. Sepatu hitam berhak rendah juga turut menemani penampilan.

Rafael merenung sebentar, lalu buru-buru membalikkan badan kembali seperti semula.

Menghilang.

Kening Rafael berkerut. Alisnya bertaut sedih. Tidak ada Kinanti. Di meja makan, tidak ada siapa pun selain dirinya sendiri. Rasanya, jantung berhenti berdetak.

Tidak ada makanan favorit yang tersaji di atas meja makan. Tidak ada mama yang memasak di dapur. Mama yang menanyakan kabar putranya saat pulang malam hari. Mama yang tertawa kecil. Mama yang bertanya belajar bareng dengan siapa. Mama yang takut putranya melupakan kewajiban beribadah kepada Tuhan.

Rumah minimalis satu lantai di daerah perumahan yang sepi penduduk berinteraksi, karena kesibukan pekerjaan. Hanya dihuni seorang anak laki-laki berusia enam belas tahun. Seorang diri.

Tidak ada wanita paruh baya dengan kelembutannya. Mama yang berkata baik-baik saja ketika di tanya keluhan sakit. Mama yang mengusap lembut pipi putra kesayangan. Mama yang bercerita merindukan kakak, karena jarang pulang ke rumah.

Tidak ada dua orang yang membalas salam secara bersamaan, saat Melati datang ke rumah baru saja.

Semua itu, halusinasi. Sekali lagi, Rafael berhalusinasi hingga suara salam dari arah belakang pukul setengah delapan malam menyadarkannya.

Tiga bulan lalu, Rafael telah kehilangan Kinanti.

Lelehan air mata mulai membasahi wajah tampan laki-laki berkulit putih bersih itu. Rafael dalam posisi duduk. Berusaha keras menahan diri untuk tetap kuat. Menatap rindu kursi kosong di hadapannya.

"Ada apa?"

Melati diam dan melangkahkan kaki ke depan. Mengeluarkan amplop coklat tebal dari dalam tas dan meletakkannya di atas meja makan. Di samping piring kosong yang ada dihadapan Rafael. Sebelah kanan. "Kakak mau ngasih ini."

Rafael melirik, lalu tangannya meremas lemah amplop tebal itu. Rafael sangat yakin, itu berisi uang seratus ribu berjumlah puluhan lembar.

Melati menarik kedua lengan blazer sampai ke siku secara bergantian. "Di kulkas ada apa? Biar Kakak masakin."

"Nggak usah. Fael, bisa masak sendiri."

Rafael tidak ingin terlihat rapuh di depan kakaknya. Memori tentang mama tiba-tiba melintas di benak. Mama yang menyebut namanya dengan panggilan khusus.

Melati mengurungkan niatnya mencuci tangan di wastafel dapur. Ia hela kasar napasnya dan menegakkan kembali tubuh.

"Ya udah. Kamu jaga diri baik-baik di rumah. Kakak pergi." Baru dua langkah Melati berjalan, setelah mengambil tas jinjing bermerk di atas meja. Suara Rafael memecah keheningan.

"Ini pasti bonus gaji, ya?"





Tentang Dia (2)

Titik pusat kamera di arahkan ke padang rumput yang ada di depan sana. Tujuh hewan bertubuh besar berwarna putih dan coklat menyebar. Sapi-sapi itu sibuk memakan rerumputan liar di tanah kosong.

IngeniousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang