54x + 17 = 17 (End)

1.8K 96 17
                                        

Sweet Seventeen

*

Sudah enam hari di Jakarta. Lea tidak berhenti di logika kemarin. Sekarang ia memperhatikan seseorang duduk di pinggir teras. Lelaki memakai topi putih tampak melepaskan ikatan tali simpul sepatu dikenakan, kemudian menalinya ulang seolah dimainkan. Lama-lama Lea berdiri satu meter darinya gemas sendiri.

"Tali sepatunya nggak nyaman."

Suara berat lebih ke lembut. Lea sontak tenang mendengarnya.

"Lea, ayo masuk." Dhira di sebelah Lea, menoleh ke belakang. "Ya udah beli baru!"

Lea tersadar dari lamunan. Setelah mematung di teras rumah milik study partner biologinya, dulu, yang pernah satu sekolah di SMA Laskar Angkasa.

"Kebiasaan. Kalau ada sedikit nggak nyaman ...." Dhira menghela napas.

Assen di belakang bangkit dari duduk di pinggir teras. Mengenakan celana training putih dan kaos polo coklat tua, Assen membersihkan tangannya dari debu. Lea menebak, Assen sepertinya usai berolahraga.

Lea tersentak ketika Dhira menarik pergelangan tangan kanannya. Mengajaknya masuk ke rumah. Menginjakkan kaki di ruang tamu.

"Dokter bilang apa?"

Lea menoleh tiba-tiba ditanya. "Dokter?"

"Seharusnya tanya di rumah sakit ...."

Lea jadi tahu kenapa sebelum tragedi tidak terguda terjadi Kakek sempat mantap memindahkannya ke Eropa. Selain kepergian seseorang selesai. Kakek pasti mengira cucu harapannya ini sudah melepaskan masalah yang terikat. Kenyataannya, hanya lari dari masalah.

"Nggak ada luka serius?"

Lea menjawab, "Nggak ada."

Dhira mengangguk paham mempersilakan Lea duduk. Lea pun duduk di salah satu sofa. Seraya mengamati kondisi rumah. Selera  pemiliknya berkelas. Klasik modern.

Bersamaan dengan kedatangan lelaki di sebelah Dhira—yang tidak mungkin Lea abaikan. Assen dan Dhira, jika bersanding, mirip.

Lea perhatikan Assen. Dari lelaki itu melepas topi lalu duduk sebelum saudarinya memulai percakapan berikutnya.

"Waktu itu kita pengen jenguk di rumah sakit, tapi lo nggak boleh dijenguk."

Lea mengikuti arah mata Assen. Kemudian bergegas ia beralih kembali ke Dhira. Assen tiba-tiba menatap ke arahnya. Lea pikir ia ketahuan mengamati diam-diam, ternyata pianis itu juga hendak berkata.

"Senang lihat keadaan lo baik-baik aja."

Hah?

Senang?

Nggak salah denger gue?

Lea menafsirkan ada salah paham. Seperti ia salah paham dengan kakek. Entahlah. Raut wajah Assen biasa saja. Sangat biasa.

"Ada keperluan apa mengajak bertemu?" tanya Assen.

Lea mengatur napas sejenak. Ia menipiskan bibir, menahan gugup. Dari menatap mata teduh Assen, Lea beralih melirik Dhira yang lebih menampakkan raut wajah penasaran.

Dhira menyahut, "Tapi nggak apa-apa Lea, lo main ke rumah. Kita dulu mau jenguk ke rumah juga tapi nggak boleh. Rumah kakek ramai wartawan, ya?"

Lea tercengang. Kakek tidak tinggal di sana untuk sementara waktu. Lebih-lebih ia sendiri juga dulu tidak pulang, karena berangkat dari rumah sakit. Barang-barangnya sudah disiapkan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 08, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

IngeniousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang