Sempurna
•
"Setiap saya mengadakan ulangan dadakan di kelas ini, kenapa yang mendapat nilai di atas sembilan puluh pasti tidak sampai sepuluh orang?"
Bu Ros berdiri di depan kelas sambil mengangkat lembaran kertas ulangan di tangan kanan. "Yang dapat nilai seratus juga belum pernah ada."
Semua murid duduk tenang campur gugup di bangku masing-masing. Jika bertanya siapa yang paling santai. Tentu saja orang yang duduk di bangku paling belakang bagian pojok kanan. Duduk bersandar tampak mendengarkan saksama.
"Akan tetapi, hari ini. Ada satu orang yang mendapat nilai sempurna."
Lirikan mata dan gerakan tubuh lainnya mulai bermunculan. Rasa penasaran dan tidak sabar bersatu. Ingin segera mendengar informasi dari guru matematika.
Lagi-lagi, meskipun tampang Lea terlihat tidak peduli. Sebetulnya, dia sama penasarannya dengan teman sekelas.
"Absen empat belas."
Kaget dalam diam. Tidak berkedip. Tidak mungkin. Bisik-bisik dan mereka yang duduk di depan bergerak menoleh ke belakang.
"Siapa absen empat belas?"
Yang menjadi pusat perhatian masih mematung. Satu, dua, tiga. Tanpa bersuara, ia berdiri dan berjalan—menghampiri selembar kertas di depan.
Perasaan senang timbul di dalam diri seorang wanita berambut diikat sanggul. Mengetahui anak didiknya terkenal hobi tidur di kelas X-7 mau berubah. "Selamat Lea, nilai kamu yang paling tinggi di kelas."
Berekspresi tidak mudah di tebak. Lea menatap tiga angka yang tertulis di pojok kanan atas kertas berwarna putih. Wajah menunjukkan ketidakpercayaan. "Ini serius, Bu Ros?"
Bu Ros tersenyum dan mengangguk.
Sama seperti yang lain, Lea juga merasakan kemustahilan. Ia tatap sekilas wajah teman-teman yang seolah menuntut penjelasan kepadanya.
Seperti mimpi.
Melangkah dan kembali ke tempat duduk. Mengabaikan teman-teman yang menaruh curiga bercampur kekaguman. Lea menatap datar nilainya di genggaman kedua tangan di atas meja. Cukup lama sampai jari jempol tangan kanannya mengusap lembut dua kali nilai yang ditulis dengan pulpen merah.
Kenapa gue nggak senang, ya?
~
Rafael berdiri di samping meja yang di atasnya terdapat layar monitor dan bawahnya tersimpan keyboard. "Amanda, gue masih menunggu jawaban lo."
Yang ditanya menghentikan aktivitas memilih berkas di ruang jurnalistik. "Bisa nggak, jangan tanya ke gue terus? Lo tanya aja sahabat lo."
"Kenapa sedikit-dikit ke Bagas?"
"Ya, karena sahabat lo yang bertanggung jawab."
"Gue ingin dengar langsung dari lo, Amanda."
"Rafael, lebih baik lo balik aja ke habit lo, deh. Ruang klub fotografi. Masalah itu udah beres, nggak usah dibahas lagi. Gue sibuk."
Rafael melirik perempuan yang sejak tadi sibuk mengetik di dekatnya. "Elin, lo juga memilih diam?"
Hening.
Cewek berambut curly menghampiri dengan santainya sambil melipat tangan. "Amanda, gue mau bilang kalau lo terlalu berani. Terlibat jauh sama anak kelas X-1."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ingenious
Teen FictionBukan yang pertama tetapi terakhir seakan tidak punya tujuan hidup. Lea peringkat terakhir paralel dituntut ambisius dan harus mencari partner belajar (sejarah, matematika, biologi) supaya nilai rapornya tidak merah lagi. Kelompok murid ambis terga...