26x : 8 = 13

2K 286 104
                                    

"Pasti bau."

Lea menerima pemberian si pianis. Ia tenteng ransel hitamnya di hadapan Rafael. "Lo mau cium?"

Rafael menggeleng, lalu tatapannya beralih ke Assen yang tampak tenang, tegas, dan berwibawa.

"Makasih, Assen." Lea meletakkan ransel di pundak kanan.

"Sama-sama," jawab Assen. Setelah itu, pergi meninggalkan mereka.

Lea menoleh ke belakang dan membalikkan badan. Menatap punggung si Pianis. Betapa beruntung bahwa tas yang sempat menghilang, ternyata di temukan Assen. Lelaki yang akhir-akhir ini berhasil membuat dirinya kagum. Bukan hanya dari segi permainan pianonya, ketampanannya, tetapi juga kebaikan di dalam hatinya.

Lea tidak akan tahu nasib tasnya kalau saja Assen tak membawanya ke ruangan khusus yang di sediakan sekolah untuk mengumumkan barang hilang. Setelah merasa lebih baik, Lea pergi ke arah berlawanan.

Menyadari kepergian Lea, Rafael pun menyusul. "Lea, nggak cari tahu siapa yang udah buang tas lo ke tempat sampah?"

"Nggak, ah. Mereka itu pecundang," ujar Lea santai.

"Mereka?"

"Teman sekelas gue pelakunya. Bersekongkol. siapa lagi kalau bukan mereka?"

"Lo di kelas masih di bully? Masih di lempari tepung?"

"Lo nggak usah panik gitu, lucu tau muka lo."

"Kalau lucu harusnya lo ketawa, dong."

"Ha ha ha. Udah, kan?"

Rafael tersenyum melihat wajah Lea yang sedikit ceria. Bisa-bisanya setelah melewati ujian hari ini, Lea bisa bersikap seakanakan tidak terjadi apa-apa.

Namun semakin lama mengenal Lea, Rafael mulai merasa kalau perempuan itu rapuh.

Pura-pura kuat itu melelahkan. Menganggap semua hal menyenangkan dan bertingkah konyol. Di dalam hati Rafael sedih membayangkan, karena dia pernah ada di posisi yang sama.

Walaupun begitu, seiring waktu berjalan itu semua menjadi kebiasaan. Sebuah kebiasaan yang melekat di dalam diri saat menghadapi masalah dan menjalani hidup sehari-hari terutama di depan banyak orang.

"Oh, iya, Partner." Lea berhenti. "Makasih, ya. Lo baik banget. Mau menemani gue cari tas."

Rafael mengangguk. "Sama-sama, Lea."

"Gue nggak bisa membayangkan misal tas gue belum ketemu juga. Beli baru kayaknya, untung nggak ada barang berharga. Buku perpustakaan juga ntar tinggal bayar denda."

Rafael meyakinkan dirinya sendiri. "Lea, lo kalau butuh bantuan. Langsung bilang aja ke gue. Gue akan bantu. Lo kalau di ganggu lagi sama teman-teman sekelas lo atau siapa pun-"

"Bilang aja dan lo juga akan bantu," sela Lea seolah bisa menebak ucapan partner sejarahnya.

Rafael santai sambil menjentikkan jari. "Nah, itu lo tau."

Lea tidak berpikir apapun selain dirinya harus segera pulang ke rumah dan menjalani harinya yang membosankan. Tidak juga, dia berniat menetap di meja belajar dan malamnya pergi ke tempat bimbel.

Lea membalikkan badan. "Oh, iya, satu lagi Partner. Lo jangan terlalu baik sama gue."

"Kenapa?"

IngeniousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang