Lea tidak bersemangat. Guru memintanya melakukan perbaikan nilai dengan catatan. Mencari partner belajar di setiap mata pelajaran yang nilainya di bawah batas minimum.
Lea tidak masalah akan hal tersebut, hanya saja ia di minta mencari partner di kelas X - 1. Setelah mendapat partner, Lea harus mengikuti jadwal yang di tentukan. Alasan guru melakukan itu, sangat menguntungkan kedua pihak.
Lea bisa mendapatkan teman baru dan semangat belajarnya tambah. Orang yang menjadi partner akan mendapat nilai plus sekaligus kian menguasai materi dengan mengajar.
Wali kelas memberikan rekomendasi nama-nama siswa. Peringkat tiga besar paralel.
Lea memijat ujung pangkal hidung. Kenapa juga dia harus repot-repot meminta bantuan mereka?
"Bagaimana kalau tidak ada yang mau menjadi partner saya?" tanya Lea.
"Pasti ada. Saya sudah menjelaskan masalah ini ke wali kelas mereka untuk di sampaikan. Bahwa akan ada murid dari kelas lain yang akan meminta bantuan di mapel tertentu. Sekarang, tinggal kamu yang usaha Lea. Bagaimana caranya membujuk mereka agar mau. Nanti, kalau sudah dapat bilang ke saya," kata Wali kelas.
Lea sempat menolak dan meminta mengerjakan ulang ujian saja. Namun, guru tidak mau. Tidak akan ada yang namanya ujian ulang. Yang ada Lea akan mengerjakan soal pemberian partner nanti.
Kalau masih menolak, Lea harus terima nilai rapornya yang apa adanya. Lea hanya punya waktu lima hari dan di mulai dari hari ini.
Kalau begini caranya ada rasa penyesalan, tapi tidak apa-apa. Lea harus bisa bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri.
Berdiri di depan pintu kelas X - 2. Lea meminta di panggilkan penghuni kelas yang namanya Manda. Beberapa di antara mereka awalnya bingung, terus ngeh kalau yang di maksud itu Amanda.
Manda keluar kelas, menoleh dan mendapati Lea lagi bersandar di dekat pintu menghadap ke depan.
"Ada apa Lea? Tumben nyariin gue?"
"Eh, Lo punya kenalan anak kelas X - 1 nggak?"
"Anak kelas sebelah?"
Manda sedang berpikir dan Lea menunggu. Sejenak Lea melirik ke arah lain, melihat seorang perempuan berambut pendek dengan gelang hitam di tangan kirinya. Perempuan itu tidak taat aturan sekolah, dasinya menghilang, seragam putihnya di keluarkan dan enggan mengancing sampai kaus polos hitam di dalamnya tampak jelas.
Merasa di perhatikan perempuan itu melirik ke arah Lea. "Apa lihat-lihat?"
Bukan Lea takut, ia malah berdecak kagum sambil mengacungkan dua jempol. "Penampilan lo swag abis Bro!"
Bukan senang di puji, perempuan itu malah terlihat tidak suka dan menatap tajam. "Nggak usah sok kenal lo!"
Setelah itu pergi, Lea agak kaget mendengar respons. Namun, ia tidak ambil pusing dan tetap santai. Lea malah berdecak tiga kali sembari menggelengkan pelan kepalanya dan tatapan mata masih memperhatikan perempuan itu sampai tubuhnya memasuki kelas di belakang.
"Memangnya boleh, di sekolah berpenampilan kayak gitu?"
"Ih, Lea. Lo nggak usah nyapa dia deh, kalau nggak benar-benar kenal."
"Kenapa?"
"Namanya Rika, anak kelas X - 3. Dia itu atlet beladiri. Orangnya emang gitu, suka seenaknya apalagi soal penampilan udah kayak sekolah milik nenek moyangnya."
"Setiap hari?"
"Enggak. Dia juga jarang masuk sekolah. Jadi, agak di biarin gitu. Tapi, lo jangan sampai sekali-kali berurusan sama dia. Di pukul, babak belur nanti."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ingenious
Teen FictionBukan yang pertama tetapi terakhir seakan tidak punya tujuan hidup. Lea peringkat terakhir paralel dituntut ambisius dan harus mencari partner belajar (sejarah, matematika, biologi) supaya nilai rapornya tidak merah lagi. Kelompok murid ambis terga...