16x - 2 = -2

2.3K 364 139
                                    

"Tampar!"

"Tapi, Tuan ...."

"TAMPAR MELATI!"

Plak!

Tamparan pertama selama enam belas tahun bernapas. Menyakitkan, tapi tidak sebanding dengan rasa sakit yang ada di hati.

"Tinggalkan kami berdua Melati."

"Maaf, Nona."

Berdiri dengan kepala menunduk, kaki rapat, dan tangan mengepal. Air mata ingin keluar. Namun, Lea tidak ingin menunjukkannya kepada dua orang yang ada di hadapannya sekarang.

Di bawah atap bangunan rumah. Di ruang kamar. Dengan suasana tegang. Kini dua orang yang tersisa.

"SUDAH HEBAT KAMU?"

Hening.

"JAWAB SAYA! OTAK KAMU DI MANA?"

Imran menghela napas dalam-dalam. Ia membalikkan badan. Menatap ke arah lain. Melihat wajah Lea hanya akan menaikkan emosinya.

"Bukan salah saya, Kek. Bukan saya yang mulai duluan." Dengan pipi kiri yang masih merasakan nyeri. Lea merasa tidak berdaya berhadapan dengan kakek.

"Menjambak, menampar, mengumpat, mendorong sampai berdarah. KAMU MASIH BILANG BUKAN SALAH KAMU?"

"Dia menghina mama Kek!"

"Siapa yang mengajari kamu seperti preman? Mama kamu, iya? Apa kata orang-orang, kalau tahu kelakuan pewaris tunggal Pradita Lawyer Firm?"

Lea menggeleng frustasi. Kakek benar-benar tidak ingin mendengar kejujurannya.

Keributan di sekolah mengantarkan Lea dalam masalah besar.

Terima Kasih

Januari akhir sedang di guyur hujan. Setiap rintik terlihat memanjakan mata bagi sang penikmat dan tampak menyusahkan bagi si pembenci.

Lea turun dari mobil sambil membuka payung. Setiap tetes air yang jatuh menggenang di jalan. Mengingatkannya pada seseorang.

Hujan itu membawa berkah Sayang.

Mengumpulkan semangat pagi. Apapun yang terjadi, Lea mampu melewatinya. Sekolah di depan sana tampak menyeramkan bagi orang yang memiliki kenangan tak mengenakan. Lawan, itu cara terbaiknya.

Allah, permudah lah. Jangan Engkau persulit.

Melangkah dan menggenggam batang payung di tangan kanan. Wajah baik-baik saja itu selalu di tampilkan.

Terlempar.

Sekumpulan anak cowok tiba-tiba merebut payung Lea dari arah belakang dan melemparnya ke sembarang arah. Mereka tertawa puas sambil meledek.

"Balikin payung gue!"

Sambil melindungi kepala dengan telapak tangan. Hujan tidak terlalu deras tetap membasahi tubuh Lea. Semakin Lea berusaha mengambil benda miliknya, mereka tega menyusahkan.

Ujian.

Lea selalu percaya, Tuhan tidak akan menguji hambanya di luar batas kemampuan.

Ada yang aneh.

Suara tawa itu mendadak hening. Air alami yang menyentuh kulit tidak lagi terasa di atas kepala. Lea mendongak sambil mengernyitkan alis.

IngeniousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang