"Spekulasi gue. Kalau pelaku cuma menampilkan wajah Lea. Itu, sama sekali nggak menarik."
Rafael menerangkan di depan dan layar monitor di dinding ruang belajar menyala. Menampilkan gambar, yang mana jadi pusat perhatian semua orang. Lagi-lagi, kecuali satu orang. Yang lebih memilih sibuk mengerjakan latihan soalnya di buku setebal tiga sentimeter di atas meja.
Rafael menggeser layar.
Terpampang jelas, lengkap tiga wajah. Gambar persegi panjang berdiri. Berisi berita yang sempat menghebohkan sekolah dan sosial media waktu lalu.
"Kalian perhatiin setiap detail. Dari cara meletakkan posisi foto sama tulisannya. Sangat rapi—"
"Dan, menarik perhatian," celetuk Alsa memotong santai sambil duduk bersandar di kursi samping kiri meja.
Ceritanya, mereka lagi rapat dadakan.
Rafael menambahkan. "Rumor tentang Lea bukan hal baru. Sudah terdengar di mana-mana, sebelum berita di buat dan heboh kemarin."
"Si pembuat berita cukup licik." Assen menyatukan jari tangannya ke atas dan siku di atas meja. Duduk tenang di kursi pemimpin menghadap layar.
"Saking liciknya, dia nambahin foto gue sama Rika. Biar apa?" Meletakkan pensil. "Bukan gue sombong. Apa karena, kita berdua famous di sekolah?" Aura Dhira berkelas saat sekilas matanya menatap ke arah teman-teman. Lalu, kembali fokus ke buku.
"Bisa jadi!" Rafael menjentikkan jari tangan kanan. "Orang-orang yang awalnya nggak peduli mendadak kepo. Lo pada tau, kan. Sebagian anak di sekolah kita kayak gimana?"
"Individual." Alsa melipat tangan. "Termasuk gue. Mementingkan diri sendiri."
"Prettt!" Bagas bersuara, setelah sedari tadi hanya menyimak. Dengan posisi berdiri dan bersandar di pinggiran meja. Sambil melipat tangan.
Alsa melotot.
"Rasa bosan. Manusia itu bosan dengan hal yang di ulang terus menerus. Rumor doang tanpa bukti, kurang menarik." Semua perhatian tertuju kepada Assen.
"Apalagi dia peringkat terakhir. Siapa yang peduli? Kecuali, anak yang satu kelas dengannya. Yang merasa harga diri kelas mereka jatuh, karena rata-rata nilai rapor X-7 di bawah kelas X-15." Alsa menambahkan.
"Nah!" Rafael meletakkan kedua telapak tangan di atas meja. "Dengan melibatkan Dhira dan Rika. Dhira, panutan mereka dan Rika, anak beasiswa. Ketertarikan itu, yang buat mereka bergerak mencari tahu fakta lebih informatif."
Dhira menghentikan aktivitas. Iris mata coklat gelapnya tidak terima. "Tapi, jatuhnya jadi fitnah. Pencemaran nama baik."
Setelah itu, Dhira menarik napas tenang dan kembali fokus mengerjakan soal. Kalem, seperti sebelumnya.
"Iya, gue tau—"
"Itu, kelemahannya." Assen melipat tangan di atas meja. "Pelaku lupa risiko yang dia dapatkan. Mungkin pikirnya cuma iseng. Nggak sampai ke sebar ke twitter, karena tujuan utama—"
"Menghancurkan Lea!" sahut Bagas bersemangat.
"Menghancurkan? Kasar banget bahasa lo. Lo pikir bangunan rumah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ingenious
Teen FictionBukan yang pertama tetapi terakhir seakan tidak punya tujuan hidup. Lea peringkat terakhir paralel dituntut ambisius dan harus mencari partner belajar (sejarah, matematika, biologi) supaya nilai rapornya tidak merah lagi. Kelompok murid ambis terga...