Assen menurunkan badan dan mengikat tali sepatu sebelah kanan milik seorang perempuan.
Di depan air mancur sekolah. Banyak siswa berlalu lalang. Yang sama seperti mereka, baru tiba di sekolah. Pukul setengah tujuh pagi.
Dhira tersenyum dan menerima uluran tangan kanan Assen. "Thank you."
Assen membiarkan Dhira menggandeng lengan tangan kirinya. Mereka terlihat dekat.
Di sisi lain, tidak jauh dari air mancur. Ada duo sahabat yang memancarkan aura kebahagiaan di pagi hari. Mereka saling merangkul dan berjalan santai.
"Ntar, waktu istirahat di kantin enaknya pesan makanan apa?"
"Bakso?"
"Bosan."
"Itu, kan, makanan favorit lu."
"Iya, tapi kalau di makan setiap hari juga bosan gue."
"Memang lo punya rasa bosan?"
Bagas melirik dan menerangkan. "Kenikmatan akan berkurang bila mengonsumsi suatu makanan yang sama secara terus menerus."
Rafael berpikir sejenak. "Lo pakai pengibaratan Hukum Gossen satu?"
Bagas memberikan senyum menantang. "Law of diminishing marginal utility."
Rafael mengoreksi. "Tapi, bunyi Hukum Gossen I yang benar bukan hanya tentang makanan. Jika pemenuhan kebutuhan suatu barang digunakan secara terus menerus, maka kenikmatan akan berkurang. Itu bunyinya, seingat gue."
Bagas mengakui kekalahannya, tapi dia ingin tetap menang. "Sama aja, kan?"
Rafael tersenyum dan mendahului langkah kaki sahabatnya. "Iya, iya! Yang mata pelajaran favoritnya ekonomi."
"Mengarang bebas lu!" Bagas tidak terima pun menunjuk dan menyusul. Mempercepat langkah kaki. "Ekonomi bukan mapel favorit gue, El."
Mereka berdua lanjut bergurau dan main kejar-kejaran, seperti tom & jerry. Tanpa sadar, mereka melewati Assen dan Dhira dari arah belakang. Rafael dan Bagas lebih dulu memasuki gedung sekolah. Suara tawa teriakan mereka seakan-akan dunia milik berdua. Berisik. Masa remaja tak terlupakan.
~
"Dor!"
Suara tawa mengejek anak-anak di kelas X-7 memecah keheningan. Lelaki berambut nyaris gundul baru saja memecah plastik berisi tepung terigu di atas kepala Lea.
"Jagoan baru datang ke sekolah, nih!"
Lea mendengus kesal. Sambil mengepalkan kedua tangan. Masuk kelas bukannya duduk manis malah dibuat kotor di depan pintu.
Lelaki berdasi longgar menambahkan. "Woi, Lea! Lo nggak buat ulah lagi biar di skorsing? Berantem sana sama kakak kelas. Seru banget, kan, teman-teman?"
Lelaki yang baru saja menumpahkan tepung ke Lea protes. "Seru, seru, lo mau di keroyok? Poin disiplin gue berkurang lima gara-gara ini cewek."
"Ya, itu salah lo sendiri. Ada di tempat kejadian, bukannya melerai malah nonton. Lo pikir pertandingan sepak bola, hah?"
"Bacot lo! Lo nonton juga."
Tertawa remeh. "Ya, tapi gue bukan lo yang panik saat poinnya berkurang."
Lea jenuh mendengar perdebatan di antara mereka berdua. Ia pun berjalan maju dan melempar tas ke bangkunya yang ada di belakang. Lagi-lagi, orang yang duduk tepat di depannya komat-kamit. Berdoa semoga tas hitam milik Lea tidak mengenai kepalanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ingenious
JugendliteraturBukan yang pertama tetapi terakhir seakan tidak punya tujuan hidup. Lea peringkat terakhir paralel dituntut ambisius dan harus mencari partner belajar (sejarah, matematika, biologi) supaya nilai rapornya tidak merah lagi. Kelompok murid ambis terga...