46x + 13 = 105

1.7K 244 19
                                    

"Gue tau."

"Sejak kapan?"

Berbicara di sudut koridor dekat tempat fotokopi sekolah. Berdiri dan hanya Lea yang menatapnya, sedangkan Rafael sesekali menengok lalu memalingkan mata.

"Maaf, soal tadi. Bukan maksudnya nggak sopan.... Gue cuma ngetes lo."

"Dari kapan tau?"

Beberapa minggu lalu, Lea melirik ponsel orang suruhan kakek jatuh di mobil. Dia berinisiatif ingin mengambilnya, tetapi kalah dari Melati dan beruntung Lea dapat sekilas melihat foto profil kontak yang di kirim chat meskipun nama yang dipakai nama samaran.

Lea hafal gambar foto profil Rafael di WhatsApp. Di tambah, kemarin lalu Rafael menyebut nama mamanya. Dari situ ia mengambil kesimpulan.

"Setelah gue pikir-pikir, wajah kalian ada miripnya. Setiap lihat lo, gue ke ingat seseorang terus juga sebaliknya, tapi gue belum sadar."

Seandainya, Lea tahu bagaimana perasaan Rafael saat ini.

"Kenapa nggak jujur aja dari awal?"

Rafael tidak menjawab dan Lea menunggu. Lebih lama dari sebelumnya.

"Kenapa lo diam? Ada hubungan apa sama kakek gue? Kenapa bisa kenal?"

Lagi-lagi diam. Lea tidak suka, di dalam hati. Di depan Rafael, lebih menunjukkan dirinya seolah tidak menjadikannya masalah. Tidak apa-apa.

"Rafael, ngomong aja. Gue nggak akan marah."

Entahlah.

"Nggak ada hubungan khusus, Lea."

Akhirnya....

"Terus, kenapa bisa kenal?"

Diam lagi.

Lea tak sabar. "Lo mau buat gue nunggu berapa abad? Jawab aja, gue nggak apa-apa."

"Kakek lo baik ... makanya kakak gue mau nerima tawaran dari kakek lo."

Baik? Tawaran?

"Tawaran kerja ... saat itu keluarga kami lagi butuh uang."

Sepertinya, Lea tak lagi penasaran.

"Selama ini .... Lo berarti ... mengawasi gue, di sekolah, iya?"

"Gue tau lo, tapi lo nggak tau gue. Itu aja."

"Setelah kenal gue pakai cara jadi partner belajar sejarah, kenapa nggak jujur? Bilang kalau lo adiknya kak Melati. Kalian pernah bertemu, kan? Di depan gue kayak orang asing? Kenapa disembunyikan?"

Pertanyaan Lea seperti gempa bumi yang tiba-tiba meruntuhkan Tembok Besar China. Rafael bisa mengerti Lea santai, tidak menyudutkannya dengan nada bicara marah. Tetapi ....

"Kakek melarang lo?"

"Nggak ngomong apa-apa."

"Ya bagus, dong!"

"Gue pikir lo akan menjauh ...."

Oke. Kali ini, Lea tak paham. Dia diam sedang mencerna kata-kata Rafael. Menjauh? Sampai tak sadar kalau Rafael meninggalkannya. Sendirian.

Lea balik badan dan mengeluh tampak dari sikapnya. "Rafael! Woi! Kok, pergi?"

~

Puncak kepala diusap lembut oleh wanita yang di sayang, Assen menatap teduh. Di dekat mobil, tempat parkir sekolah.

"Kalau selalu seperti ini, Mami semakin yakin kamu bisa dibanggakan."

IngeniousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang