14. Waktu Rawan

2.3K 586 93
                                    

Pekan ini Zulfa sudah mulai mengajar sebagai guru ekstra di salah satu sekolah menengah pertama di daerah tempat tinggalnya. Semua berjalan normal tidak seperti yang dia bayangkan sebelumnya. Meskipun tetap saja dia harus menghadapi beraneka macam karakter murid, tapi sejauh ini masih bisa dia kendalikan.

Pukul empat sore ini dia selesai dan dengan menembus rintik hujan akhirnya dia sampai di rumah meskipun dengan baju yang sedikit basah. Sebenarnya tadi Reza bersikeras mengantarnya, tapi dengan sopan dia tolak karena merasa tidak nyaman hanya berdua dengan lelaki yang bukan siapa-siapanya dalam satu mobil.

Setelah selesai ganti baju, perhatiannya tertuju pada Sang Kakek yang terlihat duduk sendirian di depan rumah.

"Loh kamu kapan pulangnya?" tanya Adnan yang melihat cucunya mendekat dengan membawa segelas teh untuknya.

"Tadi pas Simbah masih sama om di belakang," jawab Zulfa sambil duduk di samping Sang Kakek.

Pandangan Zulfa terlebih dulu tertuju pada rintik hujan yang belum juga reda membuat halaman rumah kakeknya sedikit tergenang air. Perhatiannya kemudian beralih ke lelaki tua di sampingnya itu yang entah kenapa terlihat sedang banyak pikiran.

"Simbah lagi memikirkan sesuatu?" tanya Zulfa pada akhirnya.

Sang Kakek tersenyum setelah meminum teh panas dari cucunya. "Manusia masih bernapas tentunya banyak yang dipikirkan, nduk!"

Zulfa ikut tersenyum. "Ya bener sih, Mbah! Tapi sepertinya kali ini agak mengganggu karena nggak biasanya Simbah suka duduk melamun begini." ungkap Zulfa, dia tahu benar bahwa kakeknya itu bukan tipe orang yang suka berdiam diri, pasti selalu mencari kesibukan.

"Kamu sama Nak Arsha sebenarnya bagaimana?"

Zulfa langsung berubah mimik wajahnya mendengar pertanyaan kakeknya yang tiba-tiba. Sebelumnya dia tidak pernah menyangka akan ditanya seperti itu.

Zulfa berhasil menata diri dan menjawab dengan tenang. "Naini dan Gus Arsha baik-baik saja, tidak terjadi apa-apa. Kenapa Simbah tiba-tiba membahas itu?"

Adnan menarik napasnya kemudian kembali meneguk teh panas di tangannya. "Anak itu sepertinya pantang menyerah sekali, dia pernah bilang kamu menolak lamarannya tapi dia tidak mundur. Kamu menolak dia dengan baik-baik kan? Maksud Simbah kamu tidak menyakiti hatinya dengan kata-kata kamu 'kan?"

Dengan cepat Zulfa menggeleng. "Insyaallah enggak, Mbah. Naini mengutarakan alasan dengan berusaha tidak menyakiti hati Gus Arsha. Memang kenapa, Mbah?"

"Simbah hanya khawatir saja kamu salah bicara, bagaimanapun kita harus selalu menghargai semua niat baik orang pada kita meskipun kita tidak bisa menerimanya tapi jangan sampai kita salah bicara. Sebenarnya Simbah khawatir juga karena tidak biasanya Nak Arsha itu ingkar janji, dia bilang sendiri ke Simbah mau ke sini, tapi sejak kemarin yang datang ambil daging itu orang lain dari kantornya. Entah kenapa Simbah jadi kepikiran jangan-jangan ada hubungannya sama kamu." terang Adnan.

Zulfa mendengarkan dengan seksama, dia terlalu sibuk menyiapkan kegiatan barunya sampai tidak begitu menyadari bahwa Arsha tidak pernah terlihat menyambangi rumahnya, padahal sebelumnya setiap dua hari sekali dia berkunjung untuk urusan pekerjaan dengan kakeknya.

"Mungkin Gus Arsha sedang sibuk, Mbah!" Zulfa mencoba menenangkan kakeknya.

Adnan tak langsung menjawab melainkan menatap  ke arah depan, di mana sebuah mobil berjalan lambat memasuki halaman rumahnya.

Tak lama dari itu mobil berhenti dan keluarlah seorang pemuda yang baru saja mereka bicarakan. Pemuda itu sedikit berlari untuk menembus hujan agar cepat sampai di teras rumah.

11. My Little GusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang