22. Sudut Pandang

2.5K 608 78
                                    

Apa yang Arsha ucapkan sedikit bisa merubah mindset Zulfa. Walaupun memang sudah bisa menerima takdirnya, tapi dia belum bisa berdamai. Selama ini dia merasa menjadi korban paling menderita, ada rasa benci dan iri di hatinya karena tidak pernah mendapat perhatian dan kasih sayang penuh dari orangtuanya.

Dan dia membenarkan kata Arsha, jika terus mempertahankan egonya maka dia sendiri yang akan menanggung luka batin seumur hidup. Maka sekarang ini, setelah tadi Arsha pamit pulang terlebih dahulu, Zulfa memutuskan untuk memacu motornya menuju rumah uminya. Saat ini dia masih berteduh di sebuah toko yang tutup bersama banyak pengendara lain karena derasnya hujan membuat pandangannya terganggu.

Arsha tidak benar-benar pergi lebih dulu, dia mengikuti Zulfa dari belakang untuk memastikan gadis itu aman sampai rumah uminya. Dan saat ini pemuda itu masih duduk di mobilnya, berhenti tak jauh dari lokasi Zulfa berteduh. Banyak hal yang sebenarnya ingin dia lakukan, tapi lebih banyak lagi pertimbangan yang harus dia pikirkan.

Sementara itu, Ana yang sudah mendapat kabar dari putrinya masih terlihat mondar-mandir di depan rumah, tidak sabar menunggu Zulfa datang. Rasa khawatir memenuhi hatinya karena hujan yang begitu deras disertai petir sedang mengguyur Klaten.

"Lebih baik sambil duduk!"

Perintah Mansur berhasil membuat Ana berhenti dan akhirnya duduk meskipun rasa gelisahnya belum hilang karena Zulfa belum sampai.

"Sudah ditelepon?" tanya Mansur lagi yang sudah tahu rencana Zulfa akan datang.

"Nomornya tidak aktif, mungkin ada petir begini jadi dia matikan." jawab Ana masih sambil berusaha menghubungi putrinya.

"Seharusnya sejak tadi saja dia ke sini, nggak akan terjebak hujan. Anakmu itu keras kepala!" ujar Mansur lagi.

Ana hanya bisa diam, sudah sering dia berada di posisi seperti ini. Ingin sekali ada untuk Zulfa tapi dia sadar, dia punya tanggung jawab lain yang lebih besar. Bukan dia menyesal telah memilih jalan ini, hanya saja dia belum bisa menemukan cara agar Zulfa bisa dekat dengan keluarganya.

Ana tahu sebenarnya suaminya itu tidak membenci Zulfa karena sewaktu masih awal menikah dan mereka belum punya anak, Mansur sering memberikan perhatian kecil pada Zulfa, mungkin Zulfa tidak mengingatnya. Ana sama sekali tidak menyalahkan putrinya, bagaimana pun hati putrinya pasti terluka oleh keadaan ini.

Lambat laun Zulfa semakin tumbuh besar dan punya pendapatnya sendiri tentang keadaan orangtuanya. Watak dan mentalnya terbentuk oleh keadaan yang rumit, sehingga membuat dia tumbuh menjadi gadis yang keras kepala, dan cenderung susah percaya dengan orang lain. Ditambah watak Mansur yang memang sedikit kaku dan tegas membuat hubungannya dengan Zulfa semakin menjauh.

Secara tidak langsung Zulfa menuntut perhatiannya sebagai seorang ibu, tapi di sisi lain dia juga harus patuh pada perintah suaminya.
Itulah penyesalan terbesar Ana, kehilangan kedekatan dengan Zulfa, maka selama ini dia berusaha berada di tengah, sebisa mungkin dia membuat Zulfa nyaman, makanya dia tidak keberatan saat putrinya itu meminta bertemu di luar rumah, hanya saja terkadang memang harus sedikit memaksa Sang Suami.

"Zulfa hanya ingin menjaga semuanya," Ana mencoba membela putrinya.

"Menjaga apa? Dari dulu aku selalu bilang agar dia bersikap selayaknya anak pada orangtuanya. Kalau tidak mau menghormati aku ya setidaknya hormati dan hargai ibunya sendiri. Dulu kamu datang baik-baik ke sana untuk menjenguk, dia malah selalu marah dan pergi, aku sebagai suami kamu merasa benar-benar tersinggung. Padahal dia sebagai anak yang seharusnya ke sini, silaturahmi pada ibunya, meminta doa di setiap langkah hidupnya. Tapi apa? Dia mau ketemu kamu saja minta di restoran. Apalagi ini dia mau meminta restu untuk menikah. Kok nggak sopan." ungkap Mansur.

11. My Little GusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang