21. Penyesalan

2.6K 635 115
                                    

"Lesu banget, le? Lagi puasa?" 

Arsha tertawa mendengar pertanyaan dari simbahnya yang bernama Hanif.

"Kalau Arsha sampai puasa di luar bulan ramadhan itu berarti Semarang sedang tidak baik-baik saja, Mbah!" sahut Ilyas dan semakin membuat Arsha terbahak campur malu.

Arsha merasa malu sendiri diberi pertanyaan itu oleh Sang Kakek, pasalnya dia termasuk jarang melakukan ibadah puasa sunah jika itu bukan sunah yang benar-benar dianjurkan.

Pemuda ini masih di Semarang karena memang masih ada beberapa hal yang harus dia kerjakan sebelum kembali lagi ke Klaten. Untuk itu dia manfaatkan waktu untuk mengunjungi beberapa keluarganya, dan saat ini dia sedang berada di pesantren Al Anwar yang tak lain juga merupakan rumah Sang Kakek dari jalur papanya.

"Biasanya seperti gangsingan, kok tumben anteng!" ujar Hanif lagi.

Seperti biasa Arsha hanya meringis kalau tidak punya jawaban. Pemuda itu merasa sehat-sehat saja tapi entah kenapa sejak tadi bukan hanya kakeknya yang bertanya tentang dirinya karena kelihatan lemes dan pucat.

"Putus cinta, Mbah!" sahut Ilyas lagi dan kali ini membuat Arsha harus mendengus karena sepupunya yang ikut usil.

Hanif menggelengkan kepala melihat polah tingkah cucu-cucunya dan baru beberapa menit berlangsung saling debat antara Ilyas dan Arsha, datang lagi seseorang yang sudah pasti akan menambah ruwet suasana. Siapa lagi kalau bukan Reyshaka. Ada rasa bangga sekaligus haru dalam diri Hanif melihat anak turunnya yang semakin banyak dan yang jelas dia berharap anak cucunya bisa bermanfaat untuk umat.

"Ini Sha, Abang bawakan ibuprofen kualitas terbaik. Bisa mengatasi nyeri, demam, dan sakit kepala. Katanya hati kamu sedang nyeri hebat!" celetuk Rey yang sudah pasti memancing Arsha untuk mengomel karena abangnya itu tidak benar-benar membawakan obat.

"Hati-hati Sha menjaga hatinya, abang pernah baca artikel, hati kalau dijual bisa tembus dua milyar. Sayang aja kalau hatimu ada yang konslet!" sahut Ilyas kemudian dia dan Rey kompak tertawa.

"Kalian ini, adiknya lagi suntuk kok malah ditertawakan!" Hanif bersuara pelan tapi cukup berefek untuk membuat Ilyas dan Rey diam, gantian Arsha yang puas tertawa karena merasa mendapat dukungan dari simbahnya.

Ilyas memilih menyingkir karena memang istrinya memanggil untuk meminta bantuan, sedangkan Arsha masih betah duduk di samping kakeknya dan Rey sudah meluncur ke dapur untuk menyedu segelas kopi.

"Kenapa kamu, le? Ada masalah di Klaten?" tanya Hanif yang merasa khawatir dengan kondisi cucunya itu.

Arsha masih diam saja, untuk pekerjaan barunya di Klaten dia merasa semua lancar hanya saja mungkin merasa berat karena dia tinggal seorang diri di sana. Dan kalau mau digali lebih dalam lagi, memang perasaanya belum baik-baik saja, dia masih cukup berat menerima kenyataan bahwa Zulfa sebentar lagi akan menjadi sepupunya.

"Kenapa yang hadir di awal itu selalu pendaftaran ya, Mbah? Bukannya penyesalan?" ujar Arsha.

Dengan masih membuka-buka buku di tangannya, Hanif mendengarkan cucunya yang sepertinya mau sedikit berbagi isi hatinya.

"Kalau penyesalan ada di awal, tidak ada manusia yang mau belajar dari pengalaman. Terkadang kita harus merasakan penyesalan yang besar agar benar-benar bisa menjadi lebih baik." jawab Hanif.

Arsha hanya menganggukan kepalanya membenarkan jawaban kakeknya. Dia memang merasa menyesal sekali karena waktu itu pikirannya terlalu sempit, hanya karena amarahnya yang sesaat membuat dia harus menyingkir untuk menenangkan pikiran dan akhirnya mengacaukan banyak hal sampai pada kerugian di perusahaan Sang Eyang.

11. My Little GusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang