15. Kedua Kalinya

2.2K 519 36
                                    

Arsha benar-benar menepati ucapannya untuk tidak menampakkan diri lagi di rumah Adnan. Dia sudah menyerahkan semua urusan kerja sama dengan salah satu staff kantor.

Sebenarnya sejak awal terjalinnya bisnis daging beku itu, memang bagian mengambil daging atau bertemu langsung dengan Adnan bukan tugasnya, hanya saja dia punya agenda tersendiri untuk mendekati keluarga itu, apalagi kalau bukan untuk Zulfa. Tapi sekarang sepertinya dia sedang tidak ingin memikirkan hal itu.

Selama beberapa hari itu juga Adnan nampak gelisah, dia tidak tau betul kenapa Arsha bisa sebegitu emosinya, setahu dia, Arsha adalah pemuda periang dan suka bercanda juga murah senyum.

"Naini!" panggil Adnan ketika melihat cucunya itu melintas sesaat di depannya.

Zulfa yang sedang bersiap berangkat mengajar memilih meletakkan kembali tasnya dan mendekati Sang Kakek.

Dari raut wajah Sang Kakek yang belakangan ini terlihat murung, sedikit banyak Zulfa bisa menebak apa yang ingin kakeknya itu sampaikan.

"Simbah masih kepikiran Nak Arsha," ujar Adnan.

Zulfa masih diam, benar sekali dugaannya bahwa Sang Kakek akan membahas perihal Arsha. Sebenernya dia juga cukup terganggu dengan kejadian tempo hari di mana dia dan Arsha bersitegang. Hingga sekarang dia masih merasa tidak terima Arsha menghakiminya sepihak.

"Simbah mau Naini melakukan apa?" tanyanya lirih. Walaupun enggan membahas tentang Arsha lagi tapi dia juga tidak tega melihat kakeknya terlalu memikirkan masalah ini.

Adnan menghela napasnya. "Simbah sendiri juga bingung, Simbah ingin sekali meluruskan masalah ini tapi harus mulai dari mana? Apa tidak aneh jika tiba-tiba Simbah datang ke sana? Apa nanti kata orang nanti? Simbah juga memikirkan harga diri kamu,"

"Maafkan Naini, Mbah! Semua ini masalah Naini, maka Naini yang akan meluruskan. Simbah yang tenang!" Zulfa mencoba menghibur kakeknya meskipun dia sendiri juga tidak tahu harus bagaimana, satu yang pasti, dia tidak ingin kakeknya sakit.

"Apa yang akan kamu lakukan?"

Zulfa menghela napasnya dengan pasrah. "Simbah percaya saja sama Naini," pungkasnya sebelum pamit karena jam sudah semakin bertambah.

Maka hari itu juga dia bertekad menemui Arsha, dia rela menyampingkan ego dan harga dirinya demi Sang Kakek.

Seperti biasa, dia pergi ke sekolah menjelang jam pelajaran terakhir. Dan setelah bel sekolah, dia sudah siap mengajar siswa kelas pilihannya.

Satu setengah jam dia habiskan untuk menyimak setoran murid-muridnya. Ada yang hanya setor senyuman, ada yang hanya setor ucapan maaf, ada juga yang minta negosiasi. Hanya hitungan jari murid yang berhasil menyetor ayat, padahal Zulfa hanya memberi dua ayat sebagai tugas setoran.

Walaupun merasa gemas dengan murid-muridnya dia tetap sabar menghadapi mereka, dia mencoba memahami karena masih dalam tahap adaptasi.

Selesai mengajar, dia masih berdiam diri di pinggir jalan, di atas motornya. Menimbang rencana yang ingin dia lakukan sejak tadi, menemui Arsha. Tapi keraguan masih cukup menguasai hatinya. Dia sendiri bingung, apa yang akan dia katakan.

"Fa!!"

Gadis berkacamata itu menoleh dan mendapati sebuah mobil berhenti dan Reza pengemudinya. Dia memang berhenti tak jauh dari sekolah, tak jauh juga dari tempat Reza bekerja.

"Ngapain di sini? Motornya macet?" tanya Reza.

"Enggak kok, Mas. Lagi balas pesan aja jadi berhenti dulu!" jawab Zulfa sambil mengangkat ponselnya.

11. My Little GusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang