delapanbelas

56 2 0
                                    

18.

"Posisi gue ibarat lagi maksiat trus takut ketauan. Padahal gue nggak ngelakuin apapun,"---Reyes Delvin Anderson.
.
.
.
.

Waktu lomba melukis telah usai. Seseorang mengambil lukisan tiap peserta dan mengumpulkannya menjadi satu. Setelahnya, peserta boleh meninggalkan ruangan.

Lega, itu yang dirasakan Aisha. Ia berjalan santai melewati koridor. Teringat sesuatu, ia berlari menuju ruang lomba menari.

Sampai di sana, Aisha tampak terkejut. Melihat Tiara maju ke depan, musik diputar. Tiara bersiap menari meliukkan tubuhnya dengan gerakan lentur dan lincah.

Tepuk tangan riuh membahana di telinga Aisha. Ia juga menarik bibirnya ke atas dan tepuk tangan.

'Andai Reyes tau, mungkin ia bakal terpesona. Cantik, pinter nge-dance--- Nggak Aisha----kamu mikir apa sih?' dalam hatinya bergejolak. Cemburu? Mungkin.

Aisha mengalihkan pandangannya. Saat selesai perform, Tiara berjalan menerobos kerumunan menghampiri sang sahabat.

"Cha? Gimana penampilan gue tadi?" tanya Tiara dengan antusias.

"The best, Ra!" jawab Aisha, mengacungkan kedua jempolnya.

"Padahal gue gerogi banget sebelum tampil," terang Tiara.

"Hahaha masa sih? Padahal keren lho tadi."

Binar matanya begitu terlihat. Cewek itu memeluk Aisha.

----------------

Keluar ruangan, berjalan beriringan menyusuri koridor. Tiba-tiba Tiara menghentikan langkahnya. Aisha yang menyadari itu, reflek menghentikan langkahnya juga.

"Kenapa berhenti Ra?"

"Lo juga ngapain berhenti?"

"Elah malah balik nanya," tutur Aisha, memutar bola matanya malas.

"Gue tiba-tiba ke inget Reyes Cha. Gimana ya suasana lomba di kabupaten? Pasti doi keren banget di sana... hmmmm, jadi pengen ke sana," gumam Tiara tanpa memperhatikan sekeliling. Menggumamkan kerinduan seolah telah ditinggalkan pangeran selama setahun.

Aisha tidak bisa membantu, dalam otaknya bertanya, 'apakah Reyes menang?

"Acieee, yang lagi kangen sama mamas gebetan," timpal Aisha.

Rasanya ia juga ingin ke tempat itu sekarang juga. Melihat pujaan hatinya beraksi di gedung olahraga. Membayangkannya saja sudah membuat hatinya membuncah.

--------------

Di gedung bernuansa merah dan putih itu tengah ramai. Penonton di sana sangat tertib, tidak ada suara jeritan, juga tidak ada sorotan lampu laser. Kiranya penonton mereka adalah para guru dari sekolah masing-masing dan beberapa murid yang dipilih untuk menjadi suporter. Hanya tepuk tangan meriah yang mengiringi setiap babak pertandingan. Jadi, para pemain bisa konsentrasi penuh atas aksinya di lapangan indoor itu.

Proses mainnya seri. Siapa yang menang bertanding dengan lawan pertama, maka ia berhak maju ke pertandingan selanjutnya, begitu seterusnya sampai final. Ada sekitar 32 tim putra yang akan bertanding, dan 16 tim putri. Dan itu dijadwal kurang lebih 10 hari untuk mencapai final. Jadi, mereka harus sebisa mungkin menjaga kondisi tubuh agar tetap prima. SMA Alastair mengeluarkan jagoannya, 1 dari tim  putri dan 1 lagi dari tim putra.

Tim putri hanya berhasil menang pertandingan pertama, di pertandingan ke dua mereka harus mundur. Kiranya sekarang hanya tim putra satu-satunya harapan yang mereka miliki.

Suasana tampak menegangkan di antara anak-anak Debara. Pasalnya poin lawan sudah seimbang dengan poin mereka, 15 : 15. Perlu usaha lebih keras agar poin mereka bisa melampau jauh kembali. Dalam pertandingan seharusnya mendapat 25 poin dan berlanjut ke babak ke-2. Namun, karena pertandingan berbatas waktu satu jam untuk keseluruhan ronde; pertama dan ke- dua, itu harus secepat mungkin mendapat 25 poin.

Hai, Mas AtletTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang